KEAJAIBAN ISRA MI’RAJ DAN ASPEK METAFISIK
Peristiwa Isra’ Mi’raj diperingati setiap  berulangnya bulan Rajab pada pergantian tahu yang senantiasa berlangsung  dan bergerak maju. Perulangan peringatannya setiap tahun itulah yang  telah memungkinkan setiap Muslimin untuk memperoleh keterangan dan  penjelasan-penjelasan yang berbeda-beda mengenai suatu persoalan yang  sama yakni peristiwa itu sendiri Isra’ Mi’raj.
     Kelainan keterangan dan perbedaan penjelasan terhadap peristiwa yang  satu dan tetap sama itu antara lain disebabkan karena berbedanya tempat  dan sudut pada mana peristiwa itu ditinjau sebagai sebuah topic,  disamping berbeda dan berlain-lainnya pula variasi dan gaya ungkapan  yang diberikan oleh penceramah yang memperkatakan peristiwa Ira’ Mi’raj  itu.
Di dalam risalah yang sederhana ini, akan diusahakan untuk membahas  masalah Isra’ Mi’raj itu sebagai sebuah Topic yang utuh dengan  mengutamakan penelitian terhadapp tiga buah aspeknya yang paling utama  yaitu:
A. Aspek Ilmu dari perjalanan Isra’ Mi’raj.
B.  Aspek Amal sebagai aplikasi dari realisasi Ilmu, dan
C. Aspek Iman sebagai pemuncak dari Ilmu dan Amal.
A.1. ASPEK ILMU DARI PERISTIWA ISRA’ MI’RAJ RASULULLAH MUHAMMAD SAW.
Di dalam kitab suci Al Qur’an terdapat dua buah surah yang memperkatakan  peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Besar Muhammad saw. Itu, yakni:
a. Surah Al Isra’ ayat 1 ;
Maha suci Allah yang memperjalankan hambanya di suatu malam dari  Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha’ yang telah kami berkahi sekelilingnya,  agar kami memperlihatkan kepadanya sebahagian dari tanda-tanda  kekuasaan kami , karena sesungguhnya Ia itu (Allah swt) adalah Maha  Mendengar lagi Maha Melihat. (Al Isra’ ayat 1)
b. Surah An Najmi ayat 11 sampai dengan ayat 18;
Tiadalah berdusta bahwa sadar terhadap apa-apa yang dilihatnya. Masih  jugakah kamu menyangsikan kebenaran apa-apa yang telah dipersaksikannya  itu? Padahal telah pula dipersaksikannya pada kesempatan di ketika yang  lain; yaitu di Sidratul Muntaha’. Yang padanya terdapat pertamanan yang  nyaman. Tatkala tertutuplah Sidratul Muntaha’ itu dengan sesuatu yang  menutupinya. Tiada menyimpang tak pula ia berlebih-lebihan. Sungguh  (Muhammad) itu telah melihat sebahagian dari tanda-tanda terbesar dari  (kekuasaan) Tuhan-nya.
Interpretasi ayat 1 Surah Al Isra’
Pada ayat ini terdapat sekurang-kurangnya tiga buah perkataan yang  memerlukan penjelasan untuk memungkinkan seseorang memperoleh pengertian  yang sempurna dari makna ayat itu seutuhnya. Ketiga buah perkataan  tersebut masing-masing adalah sebagai berikut:
(1). Abdihii                                          = yang berarti  hamba-Nya (Allah).
(2). Al Aqsha’                                      = yang berarti amat  jauh.
(3). Linuriyahuu min Ayaatinaa = yang berarti memperlihatkan kepadanya  sebahagian dari tanda-tanda kebesaran Kami (Allah).
Ad. (1) Di dalam ilmu Lughah (ilmu bahasa) dimaksud dengan Abdihii  (hamba) adalah manusia seutuhnya yang terdiri dari Jasad, Nafas dan Ruh;  atau Manusia hidup. Dari pengertian perkataan itu jelas kiranya bahwa  yang diisra’ Mirajkan oleh Allah swt dari Masjidil Haram ke Masjidil  Aqsha dan sidratul Munthaha’ adalah Muhammad seutuhnya. Muhammad yang  hidup yang terdiri dari Jasad, Nafas dan Ruh. Sehingga dengan demikian,  kelirulah anggapan sebahagian orang yang menyatakan bahwa yang berisra’  mi’raj itu hanyalah Ruhnya Muhammad semata-mata. Seandainya yang  berisra’ mi’raj itu hanyalah ruh Muhammad saw tentulah bunyi dari  bahagian ayat 1 surah Al Isra’ akan tersusun demikian “Asraa biruuhi  Abdihii”  Yang artinya: Memperjalankan Ruh hambanya di suatu malam.  Sedangkan diktum yang kita temukan di dalam kitab suci Al Qur’an  tidaklah demikian.
Ad. (2). Adapun perkataan “Al Aqsha’” di dalam ilmu Lughah adalah  berarti “teramat jauh” . Sebagian besar muslimin sedunia berpendapat  bahwa Masjid Al Aqsha’ yang dikunjungi Nabi besar Muhammad saw diketika  Isra’ Mi’rajnya  itu adalah Masjid Baitul Maqdis yang terletak di  Jerusalem (Darussalam = Palestina) yang dewasa ini dikuasai oleh Israel.
Kami sulit menerima pendapat ini dengan berbagai alasan yang bersumber  langsung dari kitab suci Al Qur’an. Salah satu dari antara alasan itu  adalah sebagai berikut:
(a). Surah Ar Ruum ayat 1, 2 dan 3 :
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang.
Hanya Allah yang Maha mengetahui arti yang sebenarnya; telah dikalahkan  Roma. Di negeri yang amat dekat (dekat dari Mekkah yaitu Palestina =  Israel) dan mereka setelah mengalami kekalahan akan mengalahkan kembali.
Pada keterangan surah Ar’rum di atas, Allah swt mendasarkan secara  gamblang sekali bahwa negeri Palestina = Israel itu adalah teramat  dekatnya dari kota Mekkah; sehingga amatlah kelirunya jika Masjid yang  disebut oleh Allah itu teramat jauh dari kota Mekkah dianggap terletak  di negeri yang justeru dinyatakan amat dekat dari kota Mekkah. Bahkan di  dalam cita rasa bahasa perkataan “Al Aqsha’” itu adalah lawan dari  perkataan “Al’Adnaa” sebagaimana di dalam bahasa Indonesia perkataan  amat jauh adalah lawan dari perkataan amat dekat.
(b). Jarak antara kota Mekkah dimana Masjid AL Haram terletak dengan  kota Jerusalem dimana terletak Masjid Baital Maqdis hanyalah kurang  lebih  1000 mil; sehingga sangatlah janggalnya apabila –selain alasan  tersebut point (a) di atas- Allah Yang Maha Suci, Maha Kuasa, Maha  Besar, Mendengar lagi Maha Melihat (seperti yang diterangkan pada ayat 1  surah AL Isra’ di atas) menganggap bahwa jarak 1000 mil itu adalah amat  jauh. Karena orang Kubu (Suku Nias) pun memandang 1000 mil itu bukanlah  suatu distensi (jarak) yang amat jauh yang tak dapat dicapai oleh suku  Nias.
(c). Jika ada pihak yang di dalam rangka usahanya mempertahankan  pendirian yang mempersamakan Masjidil Aqsha’ itu dengan Masjid Baital  Maqdis yang terletak di Jerusalem mengatakan jarak 1000 mil itu memang  amat jauh di zaman ketika Nabi Muhammad saw ber-isra’ mi’raj, maka  pendapat yang demikian dapat dapat disanggah dengan mengemukakan  argumentasi berikut ini:
c. 1. Perkataan Al’Aqsha’ itu tercantum di dalam kitab suci Al Qur’an.
c.2. Kitab Suci Al Qur’an itu pada hakekatnya adalah Qalam Allah.
c.3. Qalam Allah menurut pandangan Tauhid adalah juga Sifat Allah.
c.4. Oleh karena sipat Allah itu adalah Qadiim dan Baqaa; maka dengan  sendirinya kebenaran Qalam-Nya pun adalah Qadiim dan Baqaa pula.
Seandainya pengertian dari perkataan AL Aqsha’ (teramat jauh) itu  mempunyai elasticity (dapat berobah dengan berobahnya waktu) maka tentu  saja perobahan itu dapat dijadikan sebagai suatu precedent untuk juga  berpendapat bahwa :
Hukum-hukum Islam itu hanya berlaku di zamannya Rasulullah saja dan  tidak berlaku dewasa ini.
Ancaman  api Jahannam dan hiburan ni’mat Firdaus adanya hanya di zaman  Rasulullah saw.
Dan pendirian yang semacam ini di dalam pemekarannya yang paling  sempurna dan akhir akan berpendapat bahwa kebenaran Al Qur’an dewasa  inipun tidak ada lagi. Dari sub argumentasi yang diajukan di atas, nyata  bathilnya pendapat yang menyatakan bahwa Masjid Al Aqsha’ itu adalah  Masjid Baital Maqdis yang terletak di Jerusalem, kurang lebih 1000 mil  dari kota Mekkah.
(d). Di dalam beberapa ayat Al Qur’an ditegaskan bahwa Masjid Al Haram  yang dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s yang terletak di Kota Mekkah itu  adalah Masjid yang paling mulia di planet bumi ini sepanjang masa. Namun  kemuliaannya yang tak terpadai itu tidaklah pernah menyebabkan Masjid  Al Haram ini ditempati ber-Shalat Jama’ah dimana makmumnya adalah para  Arwah Nabi-Nabi dan Rasul serta Malaikat, sedang Imamnya adalah Muhammad  saw.
(e). Menurut sementara Hadist, diterangkan bahwa Rasulullah Muhammad saw  itu pernah mengimami sebuah Shalat Jama’ah di Mesjid Baital Maqdis yang  dipersamakan dengan Masjid Al Aqsha’ itu dimana makmumnya terdiri dari  arwah para Nabi dan Rasul serta Malikat. Jikalaulah apa yang tersebut  pada poin ini benar, tentu saja ayat Al Qur’an menjadi batal karena:
Shalat Jama’ah di Mesjid Baitul Maqdis itu merupakan suatu bukti bahwa  Masjid tersebut lebih mulia dari Mesjid Al Haram yang tak pernah  menampung shalat Jama’ah semacam itu;
Keterangan tersebut pada point (e) di atas juga membatalkan beberapa  buah hadist shahih karena menurut Rasulullah, Nabi Muhammad saw  shalat  dan ibadah-ibadah lainnya hanya semata-mata ditaklifkan (diwajibkan)  kepada Muslim yang masih hidup. Kalau benar bahwa arwah para Nabi dan  Rasul itu pernah shalat, bagaimana seseorang harus memahami hadist  Rasulullah saw yang artinya:
Apabila anak-cucu Adam (yang Muslim) telah meninggal, maka terputuslah segala amal ibadahnya, kecuali tiga buah yang berlangsung yaitu Amal Shalih, Shadaqah Jariyah dan anak yang shalih yang senantiasa mendoakannya.
Hadist di atas menerangkan dengan tegas bahwa segala amal menjadi  terputus dengan meninggalnya seseorang. Adapun yang tetap berlangsung  menurut hadist tersebut hanya manfaatnya, dus bukan tekhniknya.
(f). Rasulullah memang di dalam beberapa hadist beliau yang shahih  menerangkan adanya sebuah Masjid yang teramat jauh dimana beliau pernah  bershalat bersama Malaikat Jibril dan para malaikat lainnya. Masjid yang  jauh tersebut bernama Masjid Baital Ma’mur yang terletak di Sidratul  Muntaha’. Menurut Rasulullah saw apabila kita menjatuhkan sebuah batu  krikil dari Masjid Baital Ma’mur itu, maka krikil itu akan jatuh tepat  di atas Ka’bah di Masjid AL Haram yang terletak di kota Mekkah di Planet  Bumi. Yang berarti secara Asteronomic Alocational Masjid Baital Ma’mur  tersebut setentang secara vertical dengan Masjid Al Haram yang ada di  Planet Bumi.
Yang perlu diketahui adalah materi atau fisik  Sideratul Muntaha’ itu  sendiri pada mana Masjid Baital Ma’mur itu terletak, apakah ia merupakan  sebuah planet tatasurya. Sidratul Muntaha’ di dalam ilmu Lughah, adalah  sebuah kata Majemu’ yang terdiri dari dua buah perkataan yang  masing-masing mempunyai arti dan pengertiannya yang utuh sebagai  berikut:
Siderah  = Assiderah, adalah berarti bunga teratai atau benda apapun  yang bentuknya             menyerupai bentuk bunga teratai.
Muntaha’ =  Al Muntaha’ adalah berarti yang penghabisan yang terakhir.
Bila seseorang membuka-buka dan mengamat-amati gambar-gambar yang  tercantum pada setiap buku yang memperkatakan Astronomi, maka akan  tampak dengan jelas baginya bahwa bentuk setiap planet itu adalah sama  dengan bentuk bunga teratai. Dengan demikian cukuplah kuat alasan untuk  berpendapat bahwa penggunaan perkataan “Siderah” pada Al Qur’an adalah  illustrative sifatnya dengan maksud untuk mendorong dan merangsang  Muslim yang mampu mendayagunakan akalnya guna memahami apa sesungguhnya  yang dimaksud dengan Siderah itu. Pastilah orang yang bedaya pikir akan  mengatakan bahwa pengertian perkataan “Siderah” itu adalah planet.  Adapun perkataan “AL Muntaha’” yang berarti yang penghabisan atau yang  terakhir. Bila dirangkaikan dengan perkataan “Siderah” yuang  mendahuluinya, maka secara utuh, kata Majemuk tersebut berarti “Planet  Yang Terakhir”. Atau menurut versi Astronomi Planet terluar dari  tatasurya kita.
(g). Di  dalam kitab suci Al Qur’an terdapat beberapa buah ayat yang  menerangkan bahwa di sebelah luar Planet Bumi  masih terdapat 7 (tujuh)  buah planet lain di dalam tatasurya kita ini, sementara dunia  pengetahuan berpendapat bahwa hanya ada 6 (enam) buah planet di sebelah  luar Planet Bumi ini di dalam tatasurya kita ini.
Keenam buah planet tersebut adalah sebagai berikut:
1. Planet Mars dengan jarak                  48.500.000 mil dari Bumi.
2. Planet Jupiter dengan jarak             390.000.000 mil dari Bumi.
3. Planet Saturnus dengan jarak           793.000.000 mil dari Bumi.
4. Planet Uranus dengan jarak           1.692.000.000 mil dari Bumi.
5. Planet Neptune dengan jarak         2.700.000.000 mil dari Bumi.
6. Planet Pluto dengan jarak              3.607.000.000 mil dari Bumi.
Adapun dalil yang menunjukkan adanya 7 (tujuh) buah planet di sebelah  luar planet Bumi adalah sebagai berikut:
1. Surah An Naba’ ayat 12 :
Dan Kami telah membina (meletakkan) di atas (sebelah luar) kamu (planet  bumi) tujuh buah planet lain yang kokoh kekar.
2. Surah Al Baqarah ayat 29:
Ia (Allah) itulah yang menciptakan untukmu apa-apa yang ada di planet  Bumi secara keseluruhan, kemudian berkeseimbanganlah Ia ke langit, dan  lebih diseimbangkannya lagi dengan tujuh buah planet (di sebelah luar  Bumi) dan Ia (Allah) itu terhadap tiap-tiap sesuatu Maha Tahu.
Jelas kedua ayat di atas menunjukkan adanya tujuh buah planet di  sebelah luar planet Bumi di dalam tatasurya kita ini.
Dengan mengindahkan penjelasan tercantum pada point (f) di atas dan  kedua ayat Al Qur’an di atas, cukuplah alasan untuk berpendapat bahwa  Sidratul Muntaha’ itu adalah planet ketujuh disebelah luar planet Bumi  atau planet ke XI dalam tatasurya kita.
(j). Argumentasi lain yang dapat diajukan untuk membathilkan pendapat  yang mempersamakan Masjid Al Aqsha’ yang di Sidratul Muntaha’ dengan  Masjid Baital Maqdis yang di Jerusalem itu adalah bahwa “di ketika  Rasulullah saw menjalani Isra’ Mi’raj, fungsi Masjid Baital Muqadis yang  terletak di Jerusalem itu adalah pusat maksiat dimana Kitab Taurat  dipalsukan menjadi Perjanjian Lama dan Kitab Injil dipalsukan pula  menjadi kitab Perjanjian Baru untuk kemudian kompilasi kedua buah kitab  palsu tersebut diberi nama dengan nama Bible yang ditulis oleh  tangan-tangan kotor bangsa Israel sendiri. Tegasnya Baital Muqadis  diketika Rasulullah saw ber-Isra’ Mi’raj tidaklah lebih daripada (a)  Biara bagi penganut Yahudi, dan (b). Gereja bagi penganut Nasrani.
Ad. (3). Perkataan ketiga sebagai petikan dari ayat 1 (satu) surah Al   Isra’ yang memerlukan interpretasi adalah yang berbunyi; “Linuriyahuu  min ayaa’tinaa” yang berarti “Agar Kami dapat memperlihatkan kepadanya  (Muhammad saw) sebagian dari tanda-tanda kebesaran kekuasaan Kami.
Jadi jelas bahwa sesuai keterangan Allah swt yang tercantum pada ayat 1  surah Al Isra’ yang dengan gambling menerangkan bahwa tujuan perjalanan  Isra’ Mi’raj Muhammad saw itu adalah untuk diperlihatkan kepadanya oleh  Allah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya.
(3).1. Tanda-tanda kekuasaan Allah yang telah diperlihatkan kepada  RasulNya junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw. Adalah sebagai berikut:
a. Langit Pertama                                         = Planet Mars.
b. Langit Kedua                                            = Planet  Jupiter.
c. Langit Ketiga                                            = Planet  Saturnus.
d. Langit Keempat                                         = Planet  Uranus.
e. Langit Kelima                                            = Planet  Neptune
f. Langit Keenam                                           = Planet  Pluto
g. Langit Ketujuh                                                  =  Planet Terluar (Sidratul Muntaha).
h. Masjid Al Aqsha (Amat jauh)                         = Masjid Baital  Ma’mur.
i. A r s y                                                       = The  Space of Infinity.
(3).2. Di dalam kitab suci Al Qur’an terdapat ratusan buah ayat yang merupakan perintah Shalat kepada Muhammad saw dan kaum Muslimin yang menurut sebab nuzul ayat-ayat itu turun lama, tahunan sebelum berlangsungnya Isra’ Mi’raj Rasulullah saw yang menurut sebahagian besar Mufassirin dan Muhaddisin diterangkan bahwa Isra’ Mi’raj itu terjadi baru pada tahun ke XII atau ke XIII dari Kenabian dan Kerasulan Muhammad saw.
(3).3. Hadist yang masih dapat dipertimbangkan ke-shahihannya mengenai masalah shalat ialah yang terjemahan bahasa Indonesianya antara lain sebagai berikut “Dua hari setelah berlangsungnya perjalanan Isra’ Mi’raj Rasulullah saw, datanglah Malaikat Jibril mengajarkan kepada beliau (Muhammad saw) waktu-waktu dan tekhnik shalat itu”. Hadist tersebut sangat sungguh-sungguh Shahih karena tidak menyatakan bahwa Shalat diterima ketika ISra’ Mi’raj.
Dengan selesainya penjelasan mengenai pengertian dari tiga buah  perkataan yang tercantum dalam ayat 1 (satu) surah Al Isra’, jelaslah  kiranya bahwa:
1. Masjid Baital Maqdis itu tidaklah sama dengan Masjid Al Aqsha’.  Karena yang pertama terletak di Jerusalem kurang lebih 1000 mil dari  Mesjid Al Haram di Mekkah Planet Bumi, sehingga amat dekat. Sedangkan  yang kedua terletak di Planet yang terluar dari tatasurya kita atau  planet ketujuh sebelah luar planet Bumi dengan jarak kurang lebih  4.092.000.000 mil dari Masjid Al Haram planet Bumi, sehingga amat jauh  dan Masjid Al Aqsha’ yang (amat jauh) itulah yang bernama Baital Ma’mur.
2. Bahwa tujuan perjalanan Ira’ Mi’raj Muhammad saw bukanlah untuk  menerima Shalat , melainkan beroleh kehormatan dari Allah swt untuk  melihat tanda-tanda kekuasaan Allah swt yang terdiri dari Celetiel  Bodies (Benda-benda angkasa) yang  dewasa ini belum ada manusia setelah  Muhammad dapat menyaksikannya secara langsung (direct-withessit)  melainkan dengan perantaraan devises (peralatan) antara lain Telescope.  Persaksian Muhammad saw tidak sekedar persaksian mata, bahkan beliau  datang dan menginjakkan kaki pada fisik ketujuh planet tersebut.
3. Tidaklah benar bahwa arwah para Nabi dan Rasul itu ber-Shalat karena  yang ditaklifkan (diwajibkan) untuk menegakkan Shalat hanyalah manusia  yang hidup didunia. Di akhirat kelak, kendatipun manusia bangkit dan  hidup kembali, mereka tidaklah diwajibkan lagi untuk menegakkan Shalat.
4. Yang ber-Isra’ Mi’raj itu adalah Muhammad saw seutuhnya yang terdiri  dari jasad dan roh; dan bukanlah rohnya semata-mata bagai orang mimpi.                                                                       
A.2. BAGAIMANAKAH JARAK 8.184.000.000 MIL DIJALANI DI DALAM ISRA’ MI’RAJ ITU?
Tentu Saja jawaban yang paling mudah dan paling aman terhadap  pertanyaan di atas adalah, bahwa “Jikalau Allah saw yang Maha Kuasa yang  menghendaki terjadinya sesuatu, tentu saja tiada kesulitan sekecil  apapun juga”. Tetapi sejak semula kita telah bersepakat untuk mencoba  mendekati persoalan Isra’ Mi’raj ini dari pendekatan ke-Ilmuan, sehingga  tanpa mengurangi keimanan terhadap kemahakuasaan Allah swt, marilah  kita mencoba membahas masalah tersebut sebagai berikut:
A.2.1. Al Buraq Adalah Space Graft Dengan Kecepatan Sinar.
Umum di kalangan Muslimin mengetahui bahwa kendaraan yang  digunakan  oleh Rasulullah di dalam perjalanan Isra’ Mi’rajnya adalah “AL BURAQ”   atau di dalam sebutan Indonesia BURAQ. Menurut pandangan Lughah (Bahasa)  asal kata “Al Buraq” atau Buraq adalah “AL BARQU”. Al Barqu selanjutnya  berarti KILAT  sedangkan Kilat itu sama dengan SINAR.
Menurut pandangan ilmu Fisika, Sinar (light) itu adalah suatu bentuk  khusus (tertentu) dari “Energi”, dimana Light itu memiliki Velocity  (kecepatan) sejauh 186.000 mil perdetik. Dengan demikian kita dapat  mengatakan, bahwa Buraq adalah semacam Space Craft (Kendaraan Antariksa)  dengan kecepatan Sinar yakni 186.000 mil perdetik.
Di zaman kita sekarang ini yang dijuluki dengan “A CENTURY OF SCIENCE  & TEHNOLOGY” manusia belumlah mampu menghasilkan semacam device  (alat = pesawat) secepat itu; namun ketidak mampuan dunia pengetahuan  untuk menciptakan device tersebut tidaklah dapat dijadikan alasan untuk  berkata pasti; bahwa kendaraan semacam itu belum dikenal dunia  pengetahuan.
A.2.2. Un-Identified Flying Object
Dunia pengetahuan sejak berakhirnya perang dunia ke II tahun 1945 yang  lalu, disibukkan dengan apa yang disebut UFO (Un-Identified Flying  Object) Benda-benda terbang aneh yang belum dikenal. Salah satu bentuk  yang paling masyhur dari UFO tersebut dewasa ini ialah apa yang lazim  disebut dengan Flying Saucer atau Piring Terbang.
Beberapa waktu yg silam, warga Negara Amerika Serikat kembali  digemparkan oleh sebuah Piring Terbang yang menunjukkan tanda-tanda akan  mendarat di sebuah Lapangan Udara di Amerika Serikat. Sesungguhnya di  Amerika Serikat dan juga beberapa Negara Eropah Timur, kunjungan Piring  Terbang tersebut baru-baru ini bukanlah untuk pertama kalinya terjadi,  bahkan sudah teramat sering dan berulang-ulang.
Persaksian dan pendaratan yang paling menarik adalah yang terjadi di  Amerika Serikat sendiri yang dialami oleh Nyonya Betty Hill dan suaminya  yang kutipannya diterjemahkan sebagai berikut:
Kasus pengalaman dan persaksian yang sangat menarik terhadap piring  terbang berikut awaknya, ialah yang dialami oleh Nyonya Betty Hill  beseta dengan suaminya (juga orang     Amerika) telah dinyatakan, bahwa  ia Nyonya Betty Hill itu telah diperiksa secara medis oleh awak dari  benda terbang aneh yang tak dikenal itu di dalam suasana dimana Nyonya  Betty Hill dalam keadaan hypnosa. Di ketika dalam suasana hypnosa itulah  awak benda terbang aneh itu memperlihatkan kepadanya (Nyonya Betti  Hill) sebuah peta Astronomi yang menunjukkan, bahwa pangkalan dari benda  terbang aneh ini adalah Costellasi Pegasus (di luar Bima Sakti =  Tatasurya kita). Kejadian ini semua dialami oleh Nyonya Betti Hill di  atas benda terbang aneh yang tak dikenal itu. Pengalaman Nyonya Betti  Hill ini adalah dua tahun lebih dini dan lebih awal dari penemuan  ahli-ahli Rusia. Bagaimanapun ahli Rusia itu yakni Dr. Sholomotsky pasti  telah dipengaruhi oleh kedua suami isteri pegawai sipil Amerika  tersebut dan yang berani mengatakan demikian hanyalah Dr.Menzel. Hal itu  diungkapkan secara mendetail oleh Fuller di dalam bukunya yang berjudul  “The Interrupted Journey”.
Keterangan tersebut di atas, tidak hanya membenarkan adanya Piring T  erbang itu bahkan juga menegaskan, bahwa Piring Terbang tersebut  mempunyai awak semacam manusia yang datang dari luar tatasurya kita. Hal  ini tentu saja menimbulkan pertanyaan, adakah tempat lain selain Planet  Bumi kita ini yang juga dihuni oleh manusia semisal manusia yang  menghuni Planet Bumi ini?
Lebih menarik lagi daripada apa yang dialami oleh suami isteri Betty  Hill tersebut, perhatrikanlah pula keterangan berikut ini:
Namun apa yang sesungguhnya benar-benar misterius adalah kelanjutan dari  berita yang telah tersiar luas dan dibicarakan di kalangan orang ramai  di Pelabuhan Gdynia, bahwa beberapa hari setelah menceburnya sebuah  benda aneh terbang yang tak dikenal di daerah pelabuhan Gdynia Polandia,  para petugas penjaga pantai di sekitar pelabuhan itu telah menemukan  sesosok tubuh makhluk aneh yang berkelamin pria sedang berusaha  menimbuni dirinya di dalam usahanya untuk meloloskan diri di sepanjang  pantai pasir itu. Makhluk ini mampu bercakap-cakap, sayang bahwa  bahasanya tidak dikenal, dan iapun memakai semacam pakaian seragam  sedang sebahagian wajah dan rambutnya Nampak habis terbakar. Manusia  aneh tersebut segera diangkut ke rumah sakit Universitas setempat untuk  dikarantina dan selanjutnya diperiksa. Sungguh sangat disayangkan bahwa  tidaklah semuda itu untuk membuka pakaian seragam yang dipakainya,  karena tidak tampak adanya bahagian yang memungkinkan dibukanya pakaian  itu disamping kenyataan, bahwa pakaian seragamnya itu tidaklah terbuat  dar wool atau kulit, melainkan terbuat dari sejenis metal yang hanya  mungkin dapat dibuka dengan mempergunakan peralatan yang khusus; karena  itu dengan usaha yang keras, pakaiannya pun dibuka secara paksa oleh  petugas rumah sakit. Para dokter menyaksikan bahwa “pasien” ini memiliki  organ-organ tubuh yang sangat berbeda dengan organ-organ tubuh manusia  bumi, disamping system peredaran darahnya-pun sama sekali berlainan  dengan system peredaran darah manusia bumi. Jumlah jari-jemari dan  tumitnya pun agak aneh. Manusia aneh ini tetap berada dalam keadaan  hidup hingga ikatan yang melekat di lengannya dilepaskan oleh petugas  rumah sakit itu. Setelah matinya mayatnya dikirim ke Uni Sovyet untuk  pemeriksaan lebih lanjut. Para ahli UFO Polandia telah menyelesaikan  penyelisikan mereka terhadap metal yang menjadi uniform dari manusia  aneh tersebut; begitupun terhadap manusia aneh itu sendiri dan mereka  telah pula menyimpulkan bahwa metal dan makhluk aneh itu adalah termasuk  bagian dari apa yang disebut benda-benda terbang aneh yang belum  dikenal itu (UFO).
Dari keterangan di atas, kiranya tampaklah dengan jelasnya betapa  dunia pengetahuan yang dewasa ini telah sedemikian majunya belum mampu  untuk mengungkapkan masalah-masalah UFO itu, bahkan mereka secara tidak  langsung telah mengakui bahwa manusia yang menghuni tempat lain di luar  planet Bumi ini memiliki pengetahuan dan peradaban yang jauh lebih maju  dan lebih tinggi daripada ilmu dan peradaban yang dipunyai oleh manusia  bumi. Jikalau mereka belum mampu memahami UFO ; bagaimanakah mungkin  mereka dapat memahami Isra’ Mi’rajnya Rasulullah Nabi besarnya Muslimin  Muhammad saw.
A.2.3. Masa Perjalanan Isra’ Mi’raj.
Mempersamakan Buraq itu dengan semacam Space Craft (Kendaraan Antariksa)  dengan kecepatan sinar 186.000 mil per-detik,  mudahlah bagi seseorang  untuk menghitung berapa lamakah gerangan waktu yang diperlukan oleh  Rasulullah saw di dalam perjalanan Isra’ Mi’raj dari planet Bumi ke  Langit Ketujuh (Planet Sidratul Muntaha’) yakni dengan jalan membagi  jumlah jarak perjalanan Isra’ Mi’raj pergi pulang dengan kecepatan space  Craft yang bernama Buraq sebagai berikut:  8.184.000.000/186 x 1 detik  = 43.800 = 730 menit = 12 jam 10 menit
Demikianlah kata  hitungan ilmu. Sayang sekali bahwa kesimpulan ilmu ini  harus ditolak, karena beberapa buah hadist Rasulullah yang menerangkan  bahwa Isra’ Mi’raj itu berlangsung lama setelah shalat Isya’ dan kembali  sebelum shalat Subuh. Dengan demikian waktu yang diperlukan oleh beliau  hanya berkisar di sekitar 8 (delapan) jam 30 (tiga puluh) menit. Ini  akan berarti bahwa kecepatan sinar itu akan menyebabkan Muhammad saw  kesiangan karena terdapatnya selisih waktu selama 3 jam 40 menit.
Dihadapkan  kepada selisih masa waktu perjalanan ini, selaku seorang  Muslim tentu saja lebih mempercayai keterangan hadist Shahih Rasulullah  saw. daripada keterangan Ilmu pengetahuan, karena yang tersebut  belakangan ini tidak pernah memiliki kebenaran yang final. Selisih masa  waktu pertanyaan tersebut sekali lagi merupakan ujian bagi relevancy dan  accuracy ilmu pengetahuan khususnya yang menyatakan, bahwa Sinar adalah  sesuatu yang memiliki Velocity (kecepatan) yang tertinggi.
Di dalam penelitian penulis kemudian ternyata bahwa memang Sinar itu  tidaklah merupakan particle yang memiliki kecepatan tertinggi karena  velocity yang tertinggi dimiliki oleh particle lain yang bernama Tachyon  yang kecepatannya ribuan kali lebih tinggi dari kecepatan Sinar.
A.2.4. Tachyon adalah Particle yang Memiliki Kecepatan  Tertinggi.
Perhatikanlah berikut ini keterangan Norris Mc Whirter di dalam bukunya  yang berjudul “The Biggest; Guinness Book Of World Records” terbitan  1976 :
Yg terjemahannya sbb:
Sebuah riset yang cermat terhadap suatu particle yang teramat halus yang  bernama Tachyon (dengan symbol T+ dan T-) telah dilakukan oleh Dr. T.  Alvager dan Dr. M. Kriesler pada tahun 1968 dan telah pula diumumkan  hasilnya pada tahun 1974 yang menerangkan bahwa particle ini memiliki  kecepatan yang jauh lebih tinggi daripada kecepatan Sinar, khsusnya di  ruang hampa. Penemuan particle ini menimbulkan kesulitan konsepsionil,  karena ia telah menghilang sebelum dapatnya dipersaksikan. Kedua orang  tersebut adalah dari Princeton University.
Berdasarkan keterangan di atas, dapatlah kita mendasarkan pendapat  kita bahwa, jika Muhammad saw mengendarai Space Craft yang bernama Buraq  dengan kecepatan Sinar, maka itu hanya untuk menempuh suatu jarak  tertentu untuk kemudian digantikannya dengan kendaraan antariksa yang  lain yang memiliki kecepatan Tachyon, sehingga masa delapan setengah jam  dari Planet Bumi ke Planet Ketujuh di sebelah luar planet Bumi itu  cukup lapang bagi perjalanan Isra’ Mi’raj Rasulullah, Nabi Besar  Muhammad saw.
Pertanyaan yang timbul kemudian adalah bagaimanakah tehnik penerbangan  di dalam perjalanan yang demikian jauh dengan kendaraan yang demikian  cepat di dalam waktu yang demikian singkat dapat berhasil secara  gemilang tanpa membuat Rasulullah itu cidera barang sedikit jua-pun.
A.2.5. The Law Of Equation (Hukum Persamaan Albert Einsten).
Memperhatikan “technical know how”nya Isra’ Mi’raj Rasulullah itu di  dalam pandangan dunia pengetahuan adalah masalah “Conversion” (Peralihan  wujud) semata-mata. Diketahui bahwa menurut ilmu Physica; “massa” itu  pada hakekatnya adalah juga “energy” dan sebaliknya-pun demikian  “energy” itu pada hakekatnya adalah pula “massa”. Peralihan wujud   keduanya itulah yang disebut dengan Convertion, sedang cara peralihan  wujud itu tertuang ke dalam rumus persamaan yang tercantum berikut ini:
E = MC pangkat 2
E  ———–> Menunjuk pada Energy
= ———–> Menunjuk pada Persamaan.
M ———-> Menunjuk pada Massa.
C ———–> Menunjuk pada kecepatan sinar (186.000 mil per-detik).
2 ———–> Menunjuk pada perkalian kecepatan sinar itu pada bilangan  dasarnya (186.000 x 186.000) = 34.596.000.000,-
Untuk lebih memahami pengertian hukum persamaan Einstein di atas  perhatikanlah berikut ini keterangan Dr. Hanz Haber di dalam bukunya  “Our Friend, The Atom”:
Yg terjemahannya sbb:
Ini adalah sebuah pernyataan keilmuan yang dingin, kendatipun kedalam  pengertiannya mudah untuk dimengerti. Tabir rahasia dari rumus Einstein  ini terletak pada kwantitas C.2. Seperti diketahui kecepatan sinar itu  adalah 186.000 mil per-detik. Bila jumlah sebesar ini diperkalikan pada  bilangan dasarnya (186.000 x 186.000) ia akan menjadi sederetan angka  yakni 34.596.000.000. Menurut hukum persamaan Einstein sebuah (satu)  massa haruslah diperbanyak sebesar jumlah tersebut untuk mendapatkan  energy yang senilai dengan massa tersebut. Tidak teramat perlu kita  perkatakan di dalam kesatuan apa energy itu kita nyatakan, karena  kesatuan apapun juga yang kita pakai, hasilnya akan tetap besar.
Berdasarkan hukum persamaan Einstein di atas, dapatlah kita  mengetahui secara estimative bahwa Isra’ Mi’raj Rasulullah Nabi Besar  Muhammad saw itu menurut versi science adalah suatu peristiwa  “Conversion”. Tidaklah dapat disangsikan sedikitpun bahwa sarana yang  memungkinkan berlangsungnya conversi pada diri pribadi Rasulullah saw  tidaklah mungkin lain daripada “SHALAT”.
Berbicara tentang  shalat ini, berarti kita telah meninggalkan spect  pertama dari Isra’ Mi’raj yakni masalah ke-ilmuan dan kini kita memasuki  aspect yang kedua dari Isra’ Mi’raj itu yakni “Amal-Ibadah”.                                                                                                                                            
B. ASPECT AMAL DAN IBADAH DARI PERISTIWA ISRA’ MI’RAJ RASULULLAH SAW.
Berkaitan langsung dengan peristiwa Isra’ Mi’raj; Rasulullah pernah  bersabda: “Ash Shalaatu Mi’raajul Mu’miniin” (Shalat itu adalah sarana  Mi’raj-nya orang-orang yang beriman).
Pengertian hadist tersebut di atas adalah “dwi-dimensional” sifatnya  yakni selain pengertian “religion” juga padanya terdapat pula pengertian  “science”.
Secara lugah (bahasa) Mi’raj adalah berarti “Accelarator” (tangga yang  bergerak naik). Pengertian religion dari hadist tersebut di atas, bahwa  seorang muslim dapat meningkatkan ke-imanannya dengan jalan bershalat.
Pengertian science dari hadist tersebut adalah bahwa dengan shalat  seseorang dapat melintasi jarak yang dengan cara biasa di luar shalat  tak dapat dicapai/dilakukannya.
B.1. Shalat Menurut Pandangan Psychology.
Shalat sebagai suatu bentuk ibadah yang utuh adalah terdiri dari:
1.1. Nia t  ——> Ikrar dengan hati melakukan sesuatu untuk mencapai  tujuan tertentu.
1.2. Aqwaal—–> Ucapan-ucapan yang tersusun rapi dan bermakna.
1.3. Af’aal —–> Gerak-gerik dan perbuatan.
Niat adalah kerja Ruh; Aqwaal kerja Nafas dan Afaal adalah kerja Jasad  atau badan/tubuh.  Dengan demikian maka manusia sebagai individuality  adalah terdiri dari Jasad, Nafas dan Ruh. Bila seeorang menegakkan  ibadah shalat dan memahami serta menghayati esensi dan urgensi dari  shalat yang dilakukannya itu, maka keseluruhan individualitasnya selaku  manusia (Jasad, Nafas dan Ruh) secara singkron dan in-balance melakukan  fungsinya masing-masing.
Nafas mengucapkan bacaan-bacaan yang disyaratkan oleh Islam, sedangkan ruh lewat getaran qalbu meresapi dan menyerap pengertian yang terkandung di dalam aq’waal (bacaan = ucapan), sementara jasad melakukan gerakan yang mendorong lebih meresap dan mantapnya pengertian Ruh terhadap bacaan itu. Kesemuanya itu adalah merupakan realisasi dan follow up dari ikrar ruh lewat getaran qalbu untuk melakukan sesuatu guna mencapai sesuatu.
Bacaan-bacaan di dalam shalat itu  terutama terdiri dari:
a. Kesaksian akan kemahakuasaan dan kemahabesaran Allah swt.
b. Pujian terhadap Allah Yang Maha Besar, Maha Pengasih lagi Maha  Penyayang.
c. Ikrar untuk mematuhi aturan Allah yang kebesaran dan kekuasaan-Nya  telah disaksikan dan diakui.
d. Pengakuan akan kehinaan dari diri dan kelemahan terhadap Allah Yang  Maha Tahu.
e. Penyerahan diri yang diiringi dengan:
e.1. Permohonan ampun atas kesalahan-kesalahan yang diperbuat.
e.2. Permohonan kasih sayang di dunia dan akhirat.
e.3. Permohonan untuk selalu berada di dalam syariat Muhammad saw dan  termasuk di dalam jaringan komunikasi Muhammad saw.
e.4. Permohonan bagi kemaslahatan sesama orang yang beriman kepada Allah  dan rasul-rasul-Nya, khususnya Muhammad saw.
e.5. dan lain-lain permohonan.
f. Persaksian- kesaksian terhadap ke-Nabian dan kerasulan Muhammad saw  dengan missionnya yang gecodeficeerde di dalam kitab suci Al Qur’an.
g.  Permohonan agar Allah Yang Maha Kuasa senantiasa berkomunikasi  dengan Muhammad saw dan ummat Muhammad saw.
h.  Permohonan untuk mendapatkan Mardhaa’tillah (Keredhaan Allah)  berupa:
h.1. Hidup berketenangan jiwa dan berketenteraman bathin di dunia.
h.2. Hidup berbahagia di dalam ni’mat Allah di Akhirat.
Term Psychology untuk menyederhanakan tujuan-tujuan bacaan shalat di  atas adalah sebagai berikut:
1. CONVICTION ——-> Keyakinan dan Kepercayaan.
2. CONFESSION——–> Pengakuan jujur, polos dan terus terang dan  terbuka.
3. EXPECTATION——->Harapan-harapan positif bagi inprovisasi (Kebaikan  yang bergerak maju dan selalu meningkat.
Ketiga sikap kejiwaan tersebut di atas itulah yang di dalam Ilmu Jiwa  dipandang sebagai syarat mutlak utnuk:
a. Melikwidir pengaruh dan gejolak jiwa yang negative destruktif.
b. Menetralisir untuk kemudian menstabilkan jiwa yang selalu cemas,  rawan dan gelisah.
c. Menstimulir dan mensublinir jiwa yang positif menjadi lebih positif  dan lebih kreatif dan konstruktif lagi.
Orang yang asing dari salah satu atau ketiga jiwa sikap kejiwaan di  atas, jiwanya senantiasa resah dan gelisah.
Mendahului pembahasan mengenai shalat sebagai sarana untuk Mi’raj bagi  Mukminin dan shalat sebagai sarana converse di dalam rangka Isra’  Mi’raj-nya Rasulullah saw, marilah terlebih dahulu kita mempelajari  kecenderungan kejiwaan manusia menurut pandangan Ad-Dinul Islamiyah  sebagaimana yg tercantum di dalam kitab suci Al Qur’an.
B.2. Kecenderungan-Kecenderungan Jiwa Manusia Menurut Kitab Suci AL Qur’an.
Di dalam kitab suci Al Qur’an terdapat banyak sekali ayat-ayat yang  mengungkapkan secara gamblang kecenderungan-kecenderungan jiwa manusia  yang selanjutnya membentuk perangai dan tabiat serta kelakuan manusia  itu.
Beberapa buah dari antara ayat-ayat yang jumlahnya banyak itu adalah  yang kami kutipkan berikut ini:
2.1. Surah Al Maa’rij ayat 19 – 23;
Sesungguhnya manusia itu diciptakan dengan jiwa yang senantiasa resah  dan gelisah. Apabila ia dilanda kesulitan/kesedihan, ia mengeluh. Dan  bila mengalami kesenangan/kegembiraan ia lupa daratan. Kecuali mereka  yang menegakkan shalat. Mereka yang di dalam shalatnya berkekalan.
2.2. Maka sungguh beruntunglah mereka yang mensucikan (jiwanya) dan  sungguh celakalah mereka yang mengotori (menodai jiwa)nya.
Interperetasi Ayat-ayat tersebut di atas.
Ayat-ayat tercantum pada point (2.1.) di atas jelas menunjukkan bahwa  adalah alami dan kodrati bahwa jiwa manusia itu selalu merasa resah dan  gelisah dimana keresahan dan kegelisahan itu termanifestasikan pada  sikap yang senantiasa mengeluh, menyalahkan orang lain mencari kambing  hitam apabila ia mengalami kesulitan/kesusahan. Dan sebaliknya selalu  berlaku congkak dan pongah dan berlagak, apabila ia memperoleh  kegembiraan dan ketenangan dan keberhasilan.
Untuk mencegah kebiasaan-kebiasaan kejiwaan yang negative itu, Allah swt  mengajarkan kepada kita dan sekaligus memberikan sarananya yaitu  SHALAT. Namun shalat sebagai sarana haruslah dilakukan secara berkekalan  di dalam pengertian bahwa:
a. Shalat tidak hanya dikerjakan di ketika seseorang mengalami  kesulitan;
b. Shalat tidak hanya dikerjakan di ketika seseorang mengalami  keberhasilan dan keberuntungan yang menyenangkan, melainkan
c. Seseorang Muslim yang mendambakan ketenangan jiwa dan ketenteraman  bathin di dalam kehidupannya di dunia kini, haruslah senantiasa  melakukan shalat itu baik dikala ia senang maupun dikala ia susah.
Ayat-ayat tersebut secara gamblang sekali mengajarkan kepada kita bahwa  kekayaan, kepangkatan, keterampilan sosial dan keunggulan ilmu dan  pengaruh bukanlah merupakan suatu indikator untuk menilai sesorang itu  sebagai hidup berketenangan jiwa. Malahan sebaliknya –psychologich-  ayat-ayat tersebut secara tersirat memberitahukan kepada orang yang  memahaminya bahwa betapapun kekayaan, pengaruh dan keterampilan yang  dimiliki oleh seseorang bila orang yang bersangkutan itu tidak  menegakkan shalat secara berkekalan, pastilah jiwanya tidak tenang dan  bathinnya tidak tenteram sepasti bahwa jiwa dan bathinnya itu resah dan  gelisah.
Di luar dunia Islam sering kita mendengar orang berkata bahwa  “Kebahagiaan itu adalah sesuatu yang relative, bergantung kepada yang  menilainya dan dari segi mana seseorang memandang dan menilainya” .
Berbeda tajam dengan pandangan di atas; dunia Islam sebaliknya memandang  kebahagiaan itu bukan saja sebagai sesuatu yang “tidak relative”  malahan dengan tandas mengatakannya positif dan definitive, sebagaimana  hal itu diungkapkan di dalam salah sebuah hadist Rasulullah saw yang  berbunyi: “Al-Ghinaa, ghinan-Nafsi” (Kebahagiaan yang sejati itu adalah  ketenangan jiwa/ketenteraman bathin).
Adapun pengertian ayat-ayat yang tercantum pada point (2.2.) adalah  justeru menunjukkan adanya hanya 2 (dua) kelompok manusia yakni kelompok  yang mampu mensucikan jiwanya dan kelompok yang senantiasa menodai  jiwanya.
Kelompok yang mampu mensucikan jiwa adalah mereka yang beriman dan  membuktikan keimanannya dengan jalan menjalankan perintah-perintah Allah  dan menjauhi larangan-larangannya dimana perintah itu bertumbuh pada  shalat.
Adapun kelompok yang senantiasa menodai jiwanya adalah mereka:
a. Kendatipun ia mengaku  selaku seorang Muslim, tetapi pengakuannya itu  tidaklah mendorongnya untuk melaksanakan perintah-perintah Allah, malah  sebaliknya mereka melaksanakan larangan-larangann Allah yang menurut  pengakuannya diimaninya itu.
b. Mereka yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu dari makhluknya, dan
c. Mereka yang mengingkari wujud Allah swt atau mengingkari ke-Tuhanan  Allah swt.
Di dalam rangka pengelompokan ummat manusia, dengan menjadikan shalat  sebagai indicator, perhatikanlah pula penegasan Rasulullah di dalam  sabdanya yang berbunyi demikian: “Ash-Shalaatu farqun bainal-mukminiina  wal Kaafiriina”.
Artinya:
Shalat itu adalah tabir yang memisahkan (membedakan) antara seorang yang  beriman (mukmin) dengan seorang yang kufur (kafir).
Menyimpulkan interpretasi ayat-ayat tersebut, maka oleh karena setiap  orang mendambakan hidup berbahagia berketenangan jiwa, dan  berketenteraman bathin, maka sudah sepantasnyalah semua muslim itu  terpanggil untuk menegakkan komunikasi dengan Allah swt lewat shalat  sebagai sarana utamanya, karena komunikasi vertikal inilah yang akan  mekar dan menghadiakan, menghasilkan komunikasi horizontal di dalam  pergaulan masyarkat yang aman damai dan tenteram.
Bahwa mungkin ada di kalangan Muslimin yang kendatipun telah menegakkan  shalat itu secara berkekalan tetapi jiwanya ternyata masih juga resah  dan gelisah, maka sebaiknya muslim yang tidak beruntung itu meninjau  kembali shalatnya dan pelaksanaan  praktiknya. Karena  tiadalah mungkin  bahwa Allah itu dusta di dalam firman-Nya; sedangkan menurut firmannya  yang mendasari pembahasan ini jelas memberikan ketenagan jiwa dan  ketenteraman bathin pada mereka yang menegakkan shalat. Dus persoalan  yang kita hadapi “Shalat yang bagaimanakah yang dapat memberikan  ketenangan jiwa dan ketenteraman bathin bagi yang melaksanakannya”?
2.3. Surah Al-Angkabuut ayat 45.
Bacalah (pahamilah secara mantap) olehmu apa-apa yang diwahyukan  kepadamu dari AL Kitab (AL Qur’an) dan tegakkanlah Shalat karena  sesungguhnya shalat itu mencegah (orang) dari berbuat jahat dan  tercelah. Bahwa selalu ingatlah kepada Allah Yang Maha Besar, dan Allah  itu Maha mengetahui apa-apa yang kamu perbuat.
Interpretasi Ayat di atas.
1. Awal ayat menunjuk dengan jelas bahwa yang memperoleh perintah untuk  membaca wahyu itu adalah Muhammad saw karena ialah yang menerima wahyu.  Tetapi  ujung ayat menunjuk bahwa yang diseru untuk mebaca ayat yang  diwahyukan kepada Muhammad saw dan mendirikan shalat adalah orang banyak  (ummat Muhammad). Dengan demikian Muhammad saw diperintahkan untuk  memerintahkan kepada ummatnya untuk membaca ayat-ayat (wahyu) dan  mendirikan shalat.
2. Sifat kalimat dari ayat di atas adalah “fi’il Amar” (kalimat  perintah). Sedangkan nilai hukum sebuah perintah adalah berkedudukan  wajib. Sehingga  ayat tersebut berarti wajib hukumnya bagi ummat  Muhammad membaca ayat-ayat  (wahyu) itu dan wajib pula baginya untuk  mendirikan shalat. Dimaksud  wajib di dalam versi hukum ialah “beroleh  pahala mereka yang melaksanakan perintah itu dan berdosa mereka yang  tidak melaksanakannya”.
3. “Membaca” di dalam bahasa Indonesia adalah “Qara’ah” di dalam bahasa  Arab dalam bentuk “Fi’il Madhi” (past tense). Bila past tense “Qara’ah”  dirobah bentuknya menjadi kalimat perintah (fi’il amr) maka berobahlah  bunyinya menjadi “Iqra’” di dalam bahasa Arab atau “bacalah” di dalam  bahasa Indonesia.
4. Pada ayat di atas, bukan perkataan “Iqra’” bunyi perintahnya  melainkan “Ut’lu” yang berarti baca, renungkan, sadari dan hayatilah  secara manta papa-apa yang kamu baca. Dengan demikian tafsiran ayat di  atas adalah lebih kurang sebagai berikut: “Baca dan sadarilah secara  mantap pengertian ayat-ayat Al Qur’an”.
5. Di belakang perintah untuk menyadari secara mantap pengertian  ayat-ayat Al Qur’an terdapat lanjutan perintah yang berbunyi “dan  dirikanlah shalat”. Oleh karena di dalam shalat seseorang diwajibkan  untuk membaca ayat-ayat Al Qur’an, minimal surah Al Fatiha’, maka  rangkaian pengertian antara menyadari pengertian ayat dan mendirikan  shalat adalah bahwa; orang-orang yang mendirikan shalat itu, sebelum ia  bershalat haruslah terlebih dahulu menguasai dan menjiwai pengertian  dari bacaan ayat yang akan dibacanya di dalam shalat. Pada ayat yang  satu tersebut terdapat dua buah perintah yaitu:
a. Memahami secara sadar dan menjiwai secara mantap pengertian ayat.
b. Mendirikan shalat.
Dus perintah belajar memahami secara mantap ayat-ayat Al Qur’an  mendahului perintah menegakkan shalat; sebagaimana hal itu ditegaskan di  dalam berbagai hadist antara lain :
“Ut-lubul Ilma minal Mahdi ilal-Lahdi”
Yg artinya:
Tuntutlah ilmu sejak kamu turun dari ayunan (usia 2 tahun) hingga masuk  ke liang kubur.
Adapun perintah dan berlakunya hukum wajib shalat bagi seorang muslim  adalah di ketika muslim akil balig dan mumayyiz yang berarti telah mampu  mendaya-gunakan akal pikirannya, telah mampu membedakan yang buruk dari  yang baik dan telah pula dicapai seruan untuk melaksanakan ajaran  Islam. Pada umumnya disepakati bahwa usia muslim yang wajib shalat  adalah kurang lebih 15 tahun.
Jadi tenggang waktu antara perintah pertama (belajar) dan perintah yang  kedua (Shalat) adalah 15 tahun – 2 tahun = 13 tahun.
Jikalau seorang Muslim sudah aqil balig dan mumayyiz (telah mencapai  usia 15 tahun) tetapi belum juga menghayati secara mantap pengertian  ayat-ayat, minimum surah Al Fatihah yang wajib membacanya di dalam  Shalat, maka Muslim yang bersangkutan telah bertindak melalaikan dan  meremehkan perintah belajar selama 13 tahun.
6. Bahagian ayat selanjutnya menerangkan bahwa “Shalat itu mencegah  orang berbuat kejahatan dan kemungkaran”. Shalat yang memiliki daya  protektiva dan preventive itu, tentu hanya shalat yang ayat-ayat Al  Qur’annya dipahami dan disadari secara mantap oleh orang yang menegakkan  shalat itu. Dengan istilah terbalik adalah bahwa kendatipun seseorang  itu menegakkan shalat, tetapi yang bersangkutan tidak memahami arti  bacaannya, maka shalat yang ditegakkannya itu tidaklah akan mampu untuk  mencegah yang bersangkutan untuk berbuat kejahatan dan kemungkaran yang  bertumbuh pada sifat jiwanya yang senantiasa resah dan gelisah, mengeluh  jika susah dan lupa daratan jika senang.
Dengan  interpretasi ayat 45 surah Al Ankaabut di atas, jelaslah kiranya  bahwa shalat yang mampu berfungsi selaku sarana untuk mendatangkan  ketenangan jiwa dan ketenteraman bathin hanyalah shalat yang dipahami  secara mantap maksud-maksud bacaannya yang tersurat maupun yang  tersirat.
Mengapa orang yang memahami pengertian bacaan-bacaan yang dibacanya di  dalam shalat itu dapat beroleh ketenangan jiwa dan ketenteraman bathin;  itu karena orang yang memahami Al Qur’an pasti memahami pula pengertian  salah sebuah ayatnya yang berbunyi demikian “Wa’jaalnaa bisy-Syarri  wal-Khairi fitnatan” (Dan Kami menjadikan kesulitan/kesusahan dan  kesenangan/kegembiraan itu kedua-duanya selaku ujian).
Orang yang dilanda oleh kesulitan (ketakutan, kesedihan, kerugian,  penderitaan lahir dan bathin, musibah dan lain sebagainya) diuji oleh  Allah swt sejauh mana kesabarannya mengalami hal-hal yang berat itu.  Mampukah ia di dalam melaksanakan perintah-perintah Allah (terutama  shalat) dan menjauhi larangan-larangan-Nya (terutama berputus asa) kalau  ia tetap melaksanakan perintah-perintah dan menjauhkan diri dari  larangan Allah, pastilah Allah akan memnerikan way out (jalan keluar)  kepadanya untuk melepaskan diri dari kemelut dan kesulitan itu bahkan  menggantikannya dengan kesenangan. Sebaliknya  jikalau ia tidak mampu  bersikap sabar di dalam arti tetap melaksanakan perintah dan larangan  Allah, pasti kesulitan itu akan kian bertambah bahkan akan mendorongnya  untuk melakukan hal-hal yang dapat mengakibatkan kehancurannya sendiri  (membunuh, merampok, berzina, berdusta, menipu, korupsi, dan lain  sebagainya).
Sebaliknya, orang yang beroleh kesenanganpun (beroleh kekayaan, pangkat,  promosi, keuntungan dan lain sebagainya), diuji pula oleh Allah swt  sejauh mana kesanggunpannya untuk mensyukuri nikmat Allah itu. Apakah  dengan nikmat itu ia tetap bersikap konsekwen dan konsisten di dalam  keimanannya terhadap Allah di dalam arti tetap melaksanakan  perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangannya; atau apakah dengan  kesenangan itu akan menjadikannya kufur kepada Allah dengan jalan  bersikap takbur (membesarkan diri), tafakhur (menyombongkan harta,  pangkat dan jabatan),takatsur (tambah bergairah untuk memperoleh lebih  banyak lagi = serakah) tanpa mengindahkan kaedah-kaedah Islam dan  norma-norma masyarakat.
Jika ia syukur, nikmat yang diperolehnya itu akan lebih dipergandakan  lagi oleh Allah swt sebagai realisasi dari janji Allah yang tercantum di  dalam firman-Nya yang berbunyi: “Lain syakartum La’azidannakum”  (Jikalau kamu mensyukuri nikmat yang aku anugerahkan kepadamu itu,  niscaya akan kuperlipat gandakan nikmatk-Ku itu kepadamu). Sebaliknya  bila kufur, ketakaburan, kesombongan dan keserakahan itu sendirilah yang  akan menghantarkannya kepada kehancurannya yang total dan fatal,  sebagaimana hal itu telah diperingatkan oleh Allah swt di dalam lanjutan  firman-Nya di atas yang berbunyi demikian: “Wa’lain kafartum Inna  Adzaabii Lasyadid” (Dan jika kamu kufur atas naikmat yang Kuanugerahkan  kepadamu, keahuilah bahwa sesungguhnya azab siksaku itu amat dahsyat).
Jadi jelaslah bahwa shalat yang mampu menyebabkan seseorang berbahagia  di dalam arti hidup berkeseimbangan dan berketenangan jiwa hanyalah  shalat yang selain dilakukan secara berkekalan, hakekat  pengertiannya-pun diresapi dan dapat diserap secara sadar dan mendasar.
B.3. Aspect Metaphysis dari Shalat yang Benar di Dalam Pelaksanaannya.
Pada bahagian terdahulu telah dijelaskan bahwa shalat itulah yang berfungsi sebagai sarana untuk berkonversi, baik di dalam pengertian religion maupun pengertian science. Sekurang-kurangnya kita sudah mengetahui, bahwa sebagai psychological effect dari shalat yang benar dan dilakukan secara benar pula adalah tercapainya kehidupan yang selalu imbang laras tenang dan tenteram himpunan kesemuanya itu disebut kebahagiaan sebagai bukti keredhoan Allah swt.
Kita semua telah diajarkan bahwa di dalam bershalat, kita harus menampik semua pikiran-pikiran yang dapat mengganggu konsenterasi kita terhadap penyerapan dan penghayatan terhadap bacaan-bacaan yang kita baca di dalam shalat. Sebaliknya seseorang yang bershalat dipujikan untuk menghadirkan qalbunya pada setiap huruf, setiap kata dan setiap kalimat yang diucapkannya di dalam shalat.
Keadaan yang menghampiri pengertian shalat ini adalah “Meditation” khususnya “Transendental Meditation” yang lebih umum dikenal dengan singkatannya yaitu: T.S.M. Di dalam praktek T.S.M ini seseorang diharuskan untuk mempassivekan ego dan pikirannya atau di dalam term ilmu Jiwa “meniadakan fungsi Das Es (jiwa tak sadar) dan Das Ich (jiwa sadar), sehingga lapisan jiwa satu-satunya yang berfungsi di dalam T.S.M (dan pada hakekatnya di dalam shalat demikian) adalah Das Uber Ich (bawah sadar)”.
Apabila yang digaris bawahi di atas itu dapat berlangsung secara baik dan semestinya, maka akan tercapailah sesuatu yang di dalam term ilmu Jiwa disebut dengan “befrijding, verlosing, hypnosn, hypnossa” atau “trans” tersebut dikenal dengan “khusyu’”. Di dalam suasana trans ini baik di dalam T.S.M dan utama lagi di dalam shalat dapat terjadi berbagai-bagai keajaiban antara lain:
3.1. Clair Voyance —-> Kemampuan melihat sebuah object (sasaran) yang jaraknya ribuan bahkan ratusan ribu mil dari tempat dimana seseorang menegakkan shalat atau melakukan T.S.M.
3.2. Helderzienhorn–>Kemampuan mendengarkan suara (percakapan) dari orang atau benda yang berada pada jarak ribuan atau ratusan ribu mil dari tempat dimana seseorang bershalat atau melakukan T.S.M.
3.3. Levitation——–>Kemampuan untuk berpindah dari tempat menegakkan shalat ke suatu tempat yang secara biasa tiada terjangkau tanpa mempergunakan kendaraan tertentu, seperti Kuda, Mobil, Kapal Laut, Kereta Api, Pesawat Udara dan lain-lain sebagainya.
Daya jangkau “Levitation” ini bisa mencapai puluhan ribu mil dalam waktu sekejap mata. Yang paling sering memperlihatkan kemampuan Levitasi ini adalah para “Yogi” (Ahli dalam ilmu Yoga), tetapi tak pula jarang dan tak pula kurang jumlahnya Alim Ulama Ahli Hikmat yang melampaui “Levitation” ini.
Demikianlah sering kita mendengarkan betapa seorang Alim, Ahli Hikmat terlihat di Medan dan di Ujung Pandang pada waktu yang berbeda detik saja. Sesungguhnya amat dalam dan luaslah kandungan yang tersirat di balik kesederhanaan ucapan-ucapan dan gerakan-gerakan yang dilakukan di dalam shalat, asal saja orang benar-benar untuk mendalami dan menghayatinya.
Mencapai kemampuan-kemampuan yang bersipat Methaphysis ini, seseorang dipujikan untuk memperbanyak zikir kepada Allah swt, dengan senantiasa mengadakan Riyadhah (Latihan-latihan) untuk kemudian bila sudah terlatih baik, dipujikan lagi untuk menambah amal ibadahnya terutama dengan Shalat malam (Shalat Tahajjud).
Jikalau seorang Yogi dapat melakukan Levitasi, salahkah bila seorang Muslim mempunyai Kasyaf? Dan jikalau Muslim sudah mampu untuk mencapai ketiga macam aspect Methaphysis dari Sholat yang disebutkan di atas dengan sendirinya sangat mudahlah memahami (tanpa mengungkapkannya kepada orang lain), bagaimana Isra’ Mi’raj Rasulullah Nabi Besar Muhammad saw dapat terjadi.
Sampai kepada pembahasan para Psychology dan Methaphysica ini berakhirlah pula pembahasan kita terhadap aspect kedua dari peristiwa Isra’ Mi’rajnya Rasulullah saw yakni Aspect Amal dan Ibadah.
C.ASPEK IMAN DARI PERISTIWA ISRA’ MI’RAJ NABI BESAR MUHAMMAD SAW.
Di dalam Tarikh (Ilmu tentang perjalanan hidup dan perjuangan Rasulullah, Nabi Muhammad saw) hampir seluruh Ulama sependapat bahwa, peristiwa Isra’ Mi’raj itu terjadi pada tahun ke XII atau ke XIII dari pengangkatan beliau menjadi Nabi dan Rasul Allah.
Mendahului Isra’ Mi’raj tersebut kehidupan Rasulullah ditandai dan didapati dengan amal ibadah serta jihad di dalam melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya. Ketekunan amal ibadah yang tiada tara dan tolak bandingnya sepanjang masa itu adalah semata-mata merupakan realisasi dan manifestasi dari kesaksian (syahadat) beliau kepada Allah swt sebagai Al Khaliq, Sang Pencipta segalanya, yang kemudian karena kemantapan kesaksiannya itu menyebabkan beliau beroleh kehormatan untuk diangkat menjadi Nabi dan Rasul Allah.
Kepatuhan beliau di dalam melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya dan menjauhkan diri dari apa yang dilarang-Nya kepadanya itulah yang antara lain yang menyebabkan ia diberi kehormatan oleh Allah untuk beroleh anugerah yang hanya beberapa orang Nabi dan Rasul saja yang dianugerahi oleh Allah swt untuk mengalaminya yakni “Perjalanan Antariksa” yang di dalam bahasa Arab disebut “Isra’ Mi’raj”.
Para Nabi/Rasul yang mengalami perjalanan antariksa itu adalah sebagai berikut:
1. Nabi Adam as dari planet terluar dari tatasurya kita ini atau planet ketujuh disebelah luar planet Bumi ke planet Bumi dan tak kembali lagi.
2. Nabi Ibrahim as dari planet Bumi ke planet terluar dar tatasurya kita atua planet ketujuh sebelah luar planet Bumi (Sidratul Muntaha’) pergi pulang.
3. Nabi Isa’ as dari planet Bumi ke planet kedua sebelah luar planet Bumi atau planet keenam dari tatasurya kita yaitu Jupiter dan belum kembali lagi sampai sekarang.
4. Rasulullah, Nabi Besar kita Muhammad saw dari planet Bumi ke planet terluar dari tatasurya kita atau planet ketujuh sebelah luar dari planet Bumi (Sidratul Muntaha’) mengikuti jejak dari kakeknya yaitu Ibrahim as.
Alangkah besarnya rahmat dan nikmat Allah yang Maha Pengasih lagi Penyayang terhadap hamba-hambanya yang mematuhi dan menyembahnya secara hanief dan muslim, suci bersih, ikhlas dan pasrah. Jaminan Allah kepada hamba-hamba-Nya ditemukan pada banyak ayat-ayat di dalam kitab suci Al Qur’an antara lain yang tercantum dalam surah Al Baqarah ayat 112 sebagai berikut:
Yg artinya: Sungguh benarlah bahwa terhadap mereka yang ber-Islam kepada Allah dan berbuat kebajikan, tiadalah alas an untuk merasa takut atau gentar dan tak pula merasa cemas dan duka.
Mengakhiri pembahasan terhadap ketiga aspek utama dari peristiwa  Isra’ Mi’raj Rasulullah Nabi Besar Muhammad saw yakni Aspek Ilmu, Aspek  Amal dan Ibadah serta Aspek ke-Imanan; perhatikanlah berikut ini  pesan-pesan beliau kepada kita mengenai ketiga aspek tersebut sebagai  berikut:
1. Aspek Ilmu:
Man Araadad-Dun’yaa Fa-alaihi bil-Ilmi, wa-man Araadal Akhirata,  Fa-alaihi bil-Ilmi; wa-man Araada humaa, Fa-alaihi bil-Ilmi.
Terjemah bebas:
Barang siapa yang menghendaki keterampilan dan kemenangan di dunia,  hendaklah ia menguasai ilmu pengetahuan, dan barangsiapa yang  menginginkan keterampilan dan kemenangan di Akhirat kelak, hendaklah ia  menguasai ilmu pengetahuan; dan mereka yangmenginginkan kemenangan dunia  dan mendambakan kemenangan akhirat hendaklah pula menguasai ilmu  pengetahuan.
2. Aspek Amal dan Ibadah:
Ash-Shalaatu  Imaadu-ddiin; fa-man Aqaamahaa faqad Aqaamad-diin; wa-man  tarakahaa faqad Hadamad-ddiin.
Terjemah bebas:
Shalat itu adalah bagaikan tiang pancang (pondasi) Ad-Dinul Islamiyah,  maka barangsiapa yang menegakkan shalat, ia seolah-olah telah  merampungkan bangunan Islam, dan mereka yang meninggalkan shalat, ia-pun  telah pula seolah-olah telah mengobrak-abrik/meruntuhkan bangunan  Islam.
3. Aspek Keimanan.
Qul Aa’mantu Billah Tsummas-taqim.
Terjemah bebas:
Katakan sajalah bahwa aku telah beriman kepada Allah, kemudian  konsekwenlah (buktikanlah ucapanmu itu dengan melaksanakan  perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Semoga uraian yang sederhana ini bermanfaat adanya.
Disadur dr ceramah: Drs. Dachlan Salim di hadapan Keluarga besar IKAMI Sulsel Cabang Ciputat.

