KEAJAIBAN ISRA MI’RAJ DAN ASPEK METAFISIK
Peristiwa Isra’ Mi’raj diperingati setiap berulangnya bulan Rajab pada pergantian tahu yang senantiasa berlangsung dan bergerak maju. Perulangan peringatannya setiap tahun itulah yang telah memungkinkan setiap Muslimin untuk memperoleh keterangan dan penjelasan-penjelasan yang berbeda-beda mengenai suatu persoalan yang sama yakni peristiwa itu sendiri Isra’ Mi’raj.
Kelainan keterangan dan perbedaan penjelasan terhadap peristiwa yang satu dan tetap sama itu antara lain disebabkan karena berbedanya tempat dan sudut pada mana peristiwa itu ditinjau sebagai sebuah topic, disamping berbeda dan berlain-lainnya pula variasi dan gaya ungkapan yang diberikan oleh penceramah yang memperkatakan peristiwa Ira’ Mi’raj itu.
Di dalam risalah yang sederhana ini, akan diusahakan untuk membahas masalah Isra’ Mi’raj itu sebagai sebuah Topic yang utuh dengan mengutamakan penelitian terhadapp tiga buah aspeknya yang paling utama yaitu:
A. Aspek Ilmu dari perjalanan Isra’ Mi’raj.
B. Aspek Amal sebagai aplikasi dari realisasi Ilmu, dan
C. Aspek Iman sebagai pemuncak dari Ilmu dan Amal.
A.1. ASPEK ILMU DARI PERISTIWA ISRA’ MI’RAJ RASULULLAH MUHAMMAD SAW.
Di dalam kitab suci Al Qur’an terdapat dua buah surah yang memperkatakan peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Besar Muhammad saw. Itu, yakni:
a. Surah Al Isra’ ayat 1 ;
Maha suci Allah yang memperjalankan hambanya di suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha’ yang telah kami berkahi sekelilingnya, agar kami memperlihatkan kepadanya sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan kami , karena sesungguhnya Ia itu (Allah swt) adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Al Isra’ ayat 1)
b. Surah An Najmi ayat 11 sampai dengan ayat 18;
Tiadalah berdusta bahwa sadar terhadap apa-apa yang dilihatnya. Masih jugakah kamu menyangsikan kebenaran apa-apa yang telah dipersaksikannya itu? Padahal telah pula dipersaksikannya pada kesempatan di ketika yang lain; yaitu di Sidratul Muntaha’. Yang padanya terdapat pertamanan yang nyaman. Tatkala tertutuplah Sidratul Muntaha’ itu dengan sesuatu yang menutupinya. Tiada menyimpang tak pula ia berlebih-lebihan. Sungguh (Muhammad) itu telah melihat sebahagian dari tanda-tanda terbesar dari (kekuasaan) Tuhan-nya.
Interpretasi ayat 1 Surah Al Isra’
Pada ayat ini terdapat sekurang-kurangnya tiga buah perkataan yang memerlukan penjelasan untuk memungkinkan seseorang memperoleh pengertian yang sempurna dari makna ayat itu seutuhnya. Ketiga buah perkataan tersebut masing-masing adalah sebagai berikut:
(1). Abdihii = yang berarti hamba-Nya (Allah).
(2). Al Aqsha’ = yang berarti amat jauh.
(3). Linuriyahuu min Ayaatinaa = yang berarti memperlihatkan kepadanya sebahagian dari tanda-tanda kebesaran Kami (Allah).
Ad. (1) Di dalam ilmu Lughah (ilmu bahasa) dimaksud dengan Abdihii (hamba) adalah manusia seutuhnya yang terdiri dari Jasad, Nafas dan Ruh; atau Manusia hidup. Dari pengertian perkataan itu jelas kiranya bahwa yang diisra’ Mirajkan oleh Allah swt dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dan sidratul Munthaha’ adalah Muhammad seutuhnya. Muhammad yang hidup yang terdiri dari Jasad, Nafas dan Ruh. Sehingga dengan demikian, kelirulah anggapan sebahagian orang yang menyatakan bahwa yang berisra’ mi’raj itu hanyalah Ruhnya Muhammad semata-mata. Seandainya yang berisra’ mi’raj itu hanyalah ruh Muhammad saw tentulah bunyi dari bahagian ayat 1 surah Al Isra’ akan tersusun demikian “Asraa biruuhi Abdihii” Yang artinya: Memperjalankan Ruh hambanya di suatu malam. Sedangkan diktum yang kita temukan di dalam kitab suci Al Qur’an tidaklah demikian.
Ad. (2). Adapun perkataan “Al Aqsha’” di dalam ilmu Lughah adalah berarti “teramat jauh” . Sebagian besar muslimin sedunia berpendapat bahwa Masjid Al Aqsha’ yang dikunjungi Nabi besar Muhammad saw diketika Isra’ Mi’rajnya itu adalah Masjid Baitul Maqdis yang terletak di Jerusalem (Darussalam = Palestina) yang dewasa ini dikuasai oleh Israel.
Kami sulit menerima pendapat ini dengan berbagai alasan yang bersumber langsung dari kitab suci Al Qur’an. Salah satu dari antara alasan itu adalah sebagai berikut:
(a). Surah Ar Ruum ayat 1, 2 dan 3 :
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang.
Hanya Allah yang Maha mengetahui arti yang sebenarnya; telah dikalahkan Roma. Di negeri yang amat dekat (dekat dari Mekkah yaitu Palestina = Israel) dan mereka setelah mengalami kekalahan akan mengalahkan kembali.
Pada keterangan surah Ar’rum di atas, Allah swt mendasarkan secara gamblang sekali bahwa negeri Palestina = Israel itu adalah teramat dekatnya dari kota Mekkah; sehingga amatlah kelirunya jika Masjid yang disebut oleh Allah itu teramat jauh dari kota Mekkah dianggap terletak di negeri yang justeru dinyatakan amat dekat dari kota Mekkah. Bahkan di dalam cita rasa bahasa perkataan “Al Aqsha’” itu adalah lawan dari perkataan “Al’Adnaa” sebagaimana di dalam bahasa Indonesia perkataan amat jauh adalah lawan dari perkataan amat dekat.
(b). Jarak antara kota Mekkah dimana Masjid AL Haram terletak dengan kota Jerusalem dimana terletak Masjid Baital Maqdis hanyalah kurang lebih 1000 mil; sehingga sangatlah janggalnya apabila –selain alasan tersebut point (a) di atas- Allah Yang Maha Suci, Maha Kuasa, Maha Besar, Mendengar lagi Maha Melihat (seperti yang diterangkan pada ayat 1 surah AL Isra’ di atas) menganggap bahwa jarak 1000 mil itu adalah amat jauh. Karena orang Kubu (Suku Nias) pun memandang 1000 mil itu bukanlah suatu distensi (jarak) yang amat jauh yang tak dapat dicapai oleh suku Nias.
(c). Jika ada pihak yang di dalam rangka usahanya mempertahankan pendirian yang mempersamakan Masjidil Aqsha’ itu dengan Masjid Baital Maqdis yang terletak di Jerusalem mengatakan jarak 1000 mil itu memang amat jauh di zaman ketika Nabi Muhammad saw ber-isra’ mi’raj, maka pendapat yang demikian dapat dapat disanggah dengan mengemukakan argumentasi berikut ini:
c. 1. Perkataan Al’Aqsha’ itu tercantum di dalam kitab suci Al Qur’an.
c.2. Kitab Suci Al Qur’an itu pada hakekatnya adalah Qalam Allah.
c.3. Qalam Allah menurut pandangan Tauhid adalah juga Sifat Allah.
c.4. Oleh karena sipat Allah itu adalah Qadiim dan Baqaa; maka dengan sendirinya kebenaran Qalam-Nya pun adalah Qadiim dan Baqaa pula.
Seandainya pengertian dari perkataan AL Aqsha’ (teramat jauh) itu mempunyai elasticity (dapat berobah dengan berobahnya waktu) maka tentu saja perobahan itu dapat dijadikan sebagai suatu precedent untuk juga berpendapat bahwa :
Hukum-hukum Islam itu hanya berlaku di zamannya Rasulullah saja dan tidak berlaku dewasa ini.
Ancaman api Jahannam dan hiburan ni’mat Firdaus adanya hanya di zaman Rasulullah saw.
Dan pendirian yang semacam ini di dalam pemekarannya yang paling sempurna dan akhir akan berpendapat bahwa kebenaran Al Qur’an dewasa inipun tidak ada lagi. Dari sub argumentasi yang diajukan di atas, nyata bathilnya pendapat yang menyatakan bahwa Masjid Al Aqsha’ itu adalah Masjid Baital Maqdis yang terletak di Jerusalem, kurang lebih 1000 mil dari kota Mekkah.
(d). Di dalam beberapa ayat Al Qur’an ditegaskan bahwa Masjid Al Haram yang dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s yang terletak di Kota Mekkah itu adalah Masjid yang paling mulia di planet bumi ini sepanjang masa. Namun kemuliaannya yang tak terpadai itu tidaklah pernah menyebabkan Masjid Al Haram ini ditempati ber-Shalat Jama’ah dimana makmumnya adalah para Arwah Nabi-Nabi dan Rasul serta Malaikat, sedang Imamnya adalah Muhammad saw.
(e). Menurut sementara Hadist, diterangkan bahwa Rasulullah Muhammad saw itu pernah mengimami sebuah Shalat Jama’ah di Mesjid Baital Maqdis yang dipersamakan dengan Masjid Al Aqsha’ itu dimana makmumnya terdiri dari arwah para Nabi dan Rasul serta Malikat. Jikalaulah apa yang tersebut pada poin ini benar, tentu saja ayat Al Qur’an menjadi batal karena:
Shalat Jama’ah di Mesjid Baitul Maqdis itu merupakan suatu bukti bahwa Masjid tersebut lebih mulia dari Mesjid Al Haram yang tak pernah menampung shalat Jama’ah semacam itu;
Keterangan tersebut pada point (e) di atas juga membatalkan beberapa buah hadist shahih karena menurut Rasulullah, Nabi Muhammad saw shalat dan ibadah-ibadah lainnya hanya semata-mata ditaklifkan (diwajibkan) kepada Muslim yang masih hidup. Kalau benar bahwa arwah para Nabi dan Rasul itu pernah shalat, bagaimana seseorang harus memahami hadist Rasulullah saw yang artinya:
Apabila anak-cucu Adam (yang Muslim) telah meninggal, maka terputuslah segala amal ibadahnya, kecuali tiga buah yang berlangsung yaitu Amal Shalih, Shadaqah Jariyah dan anak yang shalih yang senantiasa mendoakannya.
Hadist di atas menerangkan dengan tegas bahwa segala amal menjadi terputus dengan meninggalnya seseorang. Adapun yang tetap berlangsung menurut hadist tersebut hanya manfaatnya, dus bukan tekhniknya.
(f). Rasulullah memang di dalam beberapa hadist beliau yang shahih menerangkan adanya sebuah Masjid yang teramat jauh dimana beliau pernah bershalat bersama Malaikat Jibril dan para malaikat lainnya. Masjid yang jauh tersebut bernama Masjid Baital Ma’mur yang terletak di Sidratul Muntaha’. Menurut Rasulullah saw apabila kita menjatuhkan sebuah batu krikil dari Masjid Baital Ma’mur itu, maka krikil itu akan jatuh tepat di atas Ka’bah di Masjid AL Haram yang terletak di kota Mekkah di Planet Bumi. Yang berarti secara Asteronomic Alocational Masjid Baital Ma’mur tersebut setentang secara vertical dengan Masjid Al Haram yang ada di Planet Bumi.
Yang perlu diketahui adalah materi atau fisik Sideratul Muntaha’ itu sendiri pada mana Masjid Baital Ma’mur itu terletak, apakah ia merupakan sebuah planet tatasurya. Sidratul Muntaha’ di dalam ilmu Lughah, adalah sebuah kata Majemu’ yang terdiri dari dua buah perkataan yang masing-masing mempunyai arti dan pengertiannya yang utuh sebagai berikut:
Siderah = Assiderah, adalah berarti bunga teratai atau benda apapun yang bentuknya menyerupai bentuk bunga teratai.
Muntaha’ = Al Muntaha’ adalah berarti yang penghabisan yang terakhir.
Bila seseorang membuka-buka dan mengamat-amati gambar-gambar yang tercantum pada setiap buku yang memperkatakan Astronomi, maka akan tampak dengan jelas baginya bahwa bentuk setiap planet itu adalah sama dengan bentuk bunga teratai. Dengan demikian cukuplah kuat alasan untuk berpendapat bahwa penggunaan perkataan “Siderah” pada Al Qur’an adalah illustrative sifatnya dengan maksud untuk mendorong dan merangsang Muslim yang mampu mendayagunakan akalnya guna memahami apa sesungguhnya yang dimaksud dengan Siderah itu. Pastilah orang yang bedaya pikir akan mengatakan bahwa pengertian perkataan “Siderah” itu adalah planet. Adapun perkataan “AL Muntaha’” yang berarti yang penghabisan atau yang terakhir. Bila dirangkaikan dengan perkataan “Siderah” yuang mendahuluinya, maka secara utuh, kata Majemuk tersebut berarti “Planet Yang Terakhir”. Atau menurut versi Astronomi Planet terluar dari tatasurya kita.
(g). Di dalam kitab suci Al Qur’an terdapat beberapa buah ayat yang menerangkan bahwa di sebelah luar Planet Bumi masih terdapat 7 (tujuh) buah planet lain di dalam tatasurya kita ini, sementara dunia pengetahuan berpendapat bahwa hanya ada 6 (enam) buah planet di sebelah luar Planet Bumi ini di dalam tatasurya kita ini.
Keenam buah planet tersebut adalah sebagai berikut:
1. Planet Mars dengan jarak 48.500.000 mil dari Bumi.
2. Planet Jupiter dengan jarak 390.000.000 mil dari Bumi.
3. Planet Saturnus dengan jarak 793.000.000 mil dari Bumi.
4. Planet Uranus dengan jarak 1.692.000.000 mil dari Bumi.
5. Planet Neptune dengan jarak 2.700.000.000 mil dari Bumi.
6. Planet Pluto dengan jarak 3.607.000.000 mil dari Bumi.
Adapun dalil yang menunjukkan adanya 7 (tujuh) buah planet di sebelah luar planet Bumi adalah sebagai berikut:
1. Surah An Naba’ ayat 12 :
Dan Kami telah membina (meletakkan) di atas (sebelah luar) kamu (planet bumi) tujuh buah planet lain yang kokoh kekar.
2. Surah Al Baqarah ayat 29:
Ia (Allah) itulah yang menciptakan untukmu apa-apa yang ada di planet Bumi secara keseluruhan, kemudian berkeseimbanganlah Ia ke langit, dan lebih diseimbangkannya lagi dengan tujuh buah planet (di sebelah luar Bumi) dan Ia (Allah) itu terhadap tiap-tiap sesuatu Maha Tahu.
Jelas kedua ayat di atas menunjukkan adanya tujuh buah planet di sebelah luar planet Bumi di dalam tatasurya kita ini.
Dengan mengindahkan penjelasan tercantum pada point (f) di atas dan kedua ayat Al Qur’an di atas, cukuplah alasan untuk berpendapat bahwa Sidratul Muntaha’ itu adalah planet ketujuh disebelah luar planet Bumi atau planet ke XI dalam tatasurya kita.
(j). Argumentasi lain yang dapat diajukan untuk membathilkan pendapat yang mempersamakan Masjid Al Aqsha’ yang di Sidratul Muntaha’ dengan Masjid Baital Maqdis yang di Jerusalem itu adalah bahwa “di ketika Rasulullah saw menjalani Isra’ Mi’raj, fungsi Masjid Baital Muqadis yang terletak di Jerusalem itu adalah pusat maksiat dimana Kitab Taurat dipalsukan menjadi Perjanjian Lama dan Kitab Injil dipalsukan pula menjadi kitab Perjanjian Baru untuk kemudian kompilasi kedua buah kitab palsu tersebut diberi nama dengan nama Bible yang ditulis oleh tangan-tangan kotor bangsa Israel sendiri. Tegasnya Baital Muqadis diketika Rasulullah saw ber-Isra’ Mi’raj tidaklah lebih daripada (a) Biara bagi penganut Yahudi, dan (b). Gereja bagi penganut Nasrani.
Ad. (3). Perkataan ketiga sebagai petikan dari ayat 1 (satu) surah Al Isra’ yang memerlukan interpretasi adalah yang berbunyi; “Linuriyahuu min ayaa’tinaa” yang berarti “Agar Kami dapat memperlihatkan kepadanya (Muhammad saw) sebagian dari tanda-tanda kebesaran kekuasaan Kami.
Jadi jelas bahwa sesuai keterangan Allah swt yang tercantum pada ayat 1 surah Al Isra’ yang dengan gambling menerangkan bahwa tujuan perjalanan Isra’ Mi’raj Muhammad saw itu adalah untuk diperlihatkan kepadanya oleh Allah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya.
(3).1. Tanda-tanda kekuasaan Allah yang telah diperlihatkan kepada RasulNya junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw. Adalah sebagai berikut:
a. Langit Pertama = Planet Mars.
b. Langit Kedua = Planet Jupiter.
c. Langit Ketiga = Planet Saturnus.
d. Langit Keempat = Planet Uranus.
e. Langit Kelima = Planet Neptune
f. Langit Keenam = Planet Pluto
g. Langit Ketujuh = Planet Terluar (Sidratul Muntaha).
h. Masjid Al Aqsha (Amat jauh) = Masjid Baital Ma’mur.
i. A r s y = The Space of Infinity.
(3).2. Di dalam kitab suci Al Qur’an terdapat ratusan buah ayat yang merupakan perintah Shalat kepada Muhammad saw dan kaum Muslimin yang menurut sebab nuzul ayat-ayat itu turun lama, tahunan sebelum berlangsungnya Isra’ Mi’raj Rasulullah saw yang menurut sebahagian besar Mufassirin dan Muhaddisin diterangkan bahwa Isra’ Mi’raj itu terjadi baru pada tahun ke XII atau ke XIII dari Kenabian dan Kerasulan Muhammad saw.
(3).3. Hadist yang masih dapat dipertimbangkan ke-shahihannya mengenai masalah shalat ialah yang terjemahan bahasa Indonesianya antara lain sebagai berikut “Dua hari setelah berlangsungnya perjalanan Isra’ Mi’raj Rasulullah saw, datanglah Malaikat Jibril mengajarkan kepada beliau (Muhammad saw) waktu-waktu dan tekhnik shalat itu”. Hadist tersebut sangat sungguh-sungguh Shahih karena tidak menyatakan bahwa Shalat diterima ketika ISra’ Mi’raj.
Dengan selesainya penjelasan mengenai pengertian dari tiga buah perkataan yang tercantum dalam ayat 1 (satu) surah Al Isra’, jelaslah kiranya bahwa:
1. Masjid Baital Maqdis itu tidaklah sama dengan Masjid Al Aqsha’. Karena yang pertama terletak di Jerusalem kurang lebih 1000 mil dari Mesjid Al Haram di Mekkah Planet Bumi, sehingga amat dekat. Sedangkan yang kedua terletak di Planet yang terluar dari tatasurya kita atau planet ketujuh sebelah luar planet Bumi dengan jarak kurang lebih 4.092.000.000 mil dari Masjid Al Haram planet Bumi, sehingga amat jauh dan Masjid Al Aqsha’ yang (amat jauh) itulah yang bernama Baital Ma’mur.
2. Bahwa tujuan perjalanan Ira’ Mi’raj Muhammad saw bukanlah untuk menerima Shalat , melainkan beroleh kehormatan dari Allah swt untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah swt yang terdiri dari Celetiel Bodies (Benda-benda angkasa) yang dewasa ini belum ada manusia setelah Muhammad dapat menyaksikannya secara langsung (direct-withessit) melainkan dengan perantaraan devises (peralatan) antara lain Telescope. Persaksian Muhammad saw tidak sekedar persaksian mata, bahkan beliau datang dan menginjakkan kaki pada fisik ketujuh planet tersebut.
3. Tidaklah benar bahwa arwah para Nabi dan Rasul itu ber-Shalat karena yang ditaklifkan (diwajibkan) untuk menegakkan Shalat hanyalah manusia yang hidup didunia. Di akhirat kelak, kendatipun manusia bangkit dan hidup kembali, mereka tidaklah diwajibkan lagi untuk menegakkan Shalat.
4. Yang ber-Isra’ Mi’raj itu adalah Muhammad saw seutuhnya yang terdiri dari jasad dan roh; dan bukanlah rohnya semata-mata bagai orang mimpi.
A.2. BAGAIMANAKAH JARAK 8.184.000.000 MIL DIJALANI DI DALAM ISRA’ MI’RAJ ITU?
Tentu Saja jawaban yang paling mudah dan paling aman terhadap pertanyaan di atas adalah, bahwa “Jikalau Allah saw yang Maha Kuasa yang menghendaki terjadinya sesuatu, tentu saja tiada kesulitan sekecil apapun juga”. Tetapi sejak semula kita telah bersepakat untuk mencoba mendekati persoalan Isra’ Mi’raj ini dari pendekatan ke-Ilmuan, sehingga tanpa mengurangi keimanan terhadap kemahakuasaan Allah swt, marilah kita mencoba membahas masalah tersebut sebagai berikut:
A.2.1. Al Buraq Adalah Space Graft Dengan Kecepatan Sinar.
Umum di kalangan Muslimin mengetahui bahwa kendaraan yang digunakan oleh Rasulullah di dalam perjalanan Isra’ Mi’rajnya adalah “AL BURAQ” atau di dalam sebutan Indonesia BURAQ. Menurut pandangan Lughah (Bahasa) asal kata “Al Buraq” atau Buraq adalah “AL BARQU”. Al Barqu selanjutnya berarti KILAT sedangkan Kilat itu sama dengan SINAR.
Menurut pandangan ilmu Fisika, Sinar (light) itu adalah suatu bentuk khusus (tertentu) dari “Energi”, dimana Light itu memiliki Velocity (kecepatan) sejauh 186.000 mil perdetik. Dengan demikian kita dapat mengatakan, bahwa Buraq adalah semacam Space Craft (Kendaraan Antariksa) dengan kecepatan Sinar yakni 186.000 mil perdetik.
Di zaman kita sekarang ini yang dijuluki dengan “A CENTURY OF SCIENCE & TEHNOLOGY” manusia belumlah mampu menghasilkan semacam device (alat = pesawat) secepat itu; namun ketidak mampuan dunia pengetahuan untuk menciptakan device tersebut tidaklah dapat dijadikan alasan untuk berkata pasti; bahwa kendaraan semacam itu belum dikenal dunia pengetahuan.
A.2.2. Un-Identified Flying Object
Dunia pengetahuan sejak berakhirnya perang dunia ke II tahun 1945 yang lalu, disibukkan dengan apa yang disebut UFO (Un-Identified Flying Object) Benda-benda terbang aneh yang belum dikenal. Salah satu bentuk yang paling masyhur dari UFO tersebut dewasa ini ialah apa yang lazim disebut dengan Flying Saucer atau Piring Terbang.
Beberapa waktu yg silam, warga Negara Amerika Serikat kembali digemparkan oleh sebuah Piring Terbang yang menunjukkan tanda-tanda akan mendarat di sebuah Lapangan Udara di Amerika Serikat. Sesungguhnya di Amerika Serikat dan juga beberapa Negara Eropah Timur, kunjungan Piring Terbang tersebut baru-baru ini bukanlah untuk pertama kalinya terjadi, bahkan sudah teramat sering dan berulang-ulang.
Persaksian dan pendaratan yang paling menarik adalah yang terjadi di Amerika Serikat sendiri yang dialami oleh Nyonya Betty Hill dan suaminya yang kutipannya diterjemahkan sebagai berikut:
Kasus pengalaman dan persaksian yang sangat menarik terhadap piring terbang berikut awaknya, ialah yang dialami oleh Nyonya Betty Hill beseta dengan suaminya (juga orang Amerika) telah dinyatakan, bahwa ia Nyonya Betty Hill itu telah diperiksa secara medis oleh awak dari benda terbang aneh yang tak dikenal itu di dalam suasana dimana Nyonya Betty Hill dalam keadaan hypnosa. Di ketika dalam suasana hypnosa itulah awak benda terbang aneh itu memperlihatkan kepadanya (Nyonya Betti Hill) sebuah peta Astronomi yang menunjukkan, bahwa pangkalan dari benda terbang aneh ini adalah Costellasi Pegasus (di luar Bima Sakti = Tatasurya kita). Kejadian ini semua dialami oleh Nyonya Betti Hill di atas benda terbang aneh yang tak dikenal itu. Pengalaman Nyonya Betti Hill ini adalah dua tahun lebih dini dan lebih awal dari penemuan ahli-ahli Rusia. Bagaimanapun ahli Rusia itu yakni Dr. Sholomotsky pasti telah dipengaruhi oleh kedua suami isteri pegawai sipil Amerika tersebut dan yang berani mengatakan demikian hanyalah Dr.Menzel. Hal itu diungkapkan secara mendetail oleh Fuller di dalam bukunya yang berjudul “The Interrupted Journey”.
Keterangan tersebut di atas, tidak hanya membenarkan adanya Piring T erbang itu bahkan juga menegaskan, bahwa Piring Terbang tersebut mempunyai awak semacam manusia yang datang dari luar tatasurya kita. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan, adakah tempat lain selain Planet Bumi kita ini yang juga dihuni oleh manusia semisal manusia yang menghuni Planet Bumi ini?
Lebih menarik lagi daripada apa yang dialami oleh suami isteri Betty Hill tersebut, perhatrikanlah pula keterangan berikut ini:
Namun apa yang sesungguhnya benar-benar misterius adalah kelanjutan dari berita yang telah tersiar luas dan dibicarakan di kalangan orang ramai di Pelabuhan Gdynia, bahwa beberapa hari setelah menceburnya sebuah benda aneh terbang yang tak dikenal di daerah pelabuhan Gdynia Polandia, para petugas penjaga pantai di sekitar pelabuhan itu telah menemukan sesosok tubuh makhluk aneh yang berkelamin pria sedang berusaha menimbuni dirinya di dalam usahanya untuk meloloskan diri di sepanjang pantai pasir itu. Makhluk ini mampu bercakap-cakap, sayang bahwa bahasanya tidak dikenal, dan iapun memakai semacam pakaian seragam sedang sebahagian wajah dan rambutnya Nampak habis terbakar. Manusia aneh tersebut segera diangkut ke rumah sakit Universitas setempat untuk dikarantina dan selanjutnya diperiksa. Sungguh sangat disayangkan bahwa tidaklah semuda itu untuk membuka pakaian seragam yang dipakainya, karena tidak tampak adanya bahagian yang memungkinkan dibukanya pakaian itu disamping kenyataan, bahwa pakaian seragamnya itu tidaklah terbuat dar wool atau kulit, melainkan terbuat dari sejenis metal yang hanya mungkin dapat dibuka dengan mempergunakan peralatan yang khusus; karena itu dengan usaha yang keras, pakaiannya pun dibuka secara paksa oleh petugas rumah sakit. Para dokter menyaksikan bahwa “pasien” ini memiliki organ-organ tubuh yang sangat berbeda dengan organ-organ tubuh manusia bumi, disamping system peredaran darahnya-pun sama sekali berlainan dengan system peredaran darah manusia bumi. Jumlah jari-jemari dan tumitnya pun agak aneh. Manusia aneh ini tetap berada dalam keadaan hidup hingga ikatan yang melekat di lengannya dilepaskan oleh petugas rumah sakit itu. Setelah matinya mayatnya dikirim ke Uni Sovyet untuk pemeriksaan lebih lanjut. Para ahli UFO Polandia telah menyelesaikan penyelisikan mereka terhadap metal yang menjadi uniform dari manusia aneh tersebut; begitupun terhadap manusia aneh itu sendiri dan mereka telah pula menyimpulkan bahwa metal dan makhluk aneh itu adalah termasuk bagian dari apa yang disebut benda-benda terbang aneh yang belum dikenal itu (UFO).
Dari keterangan di atas, kiranya tampaklah dengan jelasnya betapa dunia pengetahuan yang dewasa ini telah sedemikian majunya belum mampu untuk mengungkapkan masalah-masalah UFO itu, bahkan mereka secara tidak langsung telah mengakui bahwa manusia yang menghuni tempat lain di luar planet Bumi ini memiliki pengetahuan dan peradaban yang jauh lebih maju dan lebih tinggi daripada ilmu dan peradaban yang dipunyai oleh manusia bumi. Jikalau mereka belum mampu memahami UFO ; bagaimanakah mungkin mereka dapat memahami Isra’ Mi’rajnya Rasulullah Nabi besarnya Muslimin Muhammad saw.
A.2.3. Masa Perjalanan Isra’ Mi’raj.
Mempersamakan Buraq itu dengan semacam Space Craft (Kendaraan Antariksa) dengan kecepatan sinar 186.000 mil per-detik, mudahlah bagi seseorang untuk menghitung berapa lamakah gerangan waktu yang diperlukan oleh Rasulullah saw di dalam perjalanan Isra’ Mi’raj dari planet Bumi ke Langit Ketujuh (Planet Sidratul Muntaha’) yakni dengan jalan membagi jumlah jarak perjalanan Isra’ Mi’raj pergi pulang dengan kecepatan space Craft yang bernama Buraq sebagai berikut: 8.184.000.000/186 x 1 detik = 43.800 = 730 menit = 12 jam 10 menit
Demikianlah kata hitungan ilmu. Sayang sekali bahwa kesimpulan ilmu ini harus ditolak, karena beberapa buah hadist Rasulullah yang menerangkan bahwa Isra’ Mi’raj itu berlangsung lama setelah shalat Isya’ dan kembali sebelum shalat Subuh. Dengan demikian waktu yang diperlukan oleh beliau hanya berkisar di sekitar 8 (delapan) jam 30 (tiga puluh) menit. Ini akan berarti bahwa kecepatan sinar itu akan menyebabkan Muhammad saw kesiangan karena terdapatnya selisih waktu selama 3 jam 40 menit.
Dihadapkan kepada selisih masa waktu perjalanan ini, selaku seorang Muslim tentu saja lebih mempercayai keterangan hadist Shahih Rasulullah saw. daripada keterangan Ilmu pengetahuan, karena yang tersebut belakangan ini tidak pernah memiliki kebenaran yang final. Selisih masa waktu pertanyaan tersebut sekali lagi merupakan ujian bagi relevancy dan accuracy ilmu pengetahuan khususnya yang menyatakan, bahwa Sinar adalah sesuatu yang memiliki Velocity (kecepatan) yang tertinggi.
Di dalam penelitian penulis kemudian ternyata bahwa memang Sinar itu tidaklah merupakan particle yang memiliki kecepatan tertinggi karena velocity yang tertinggi dimiliki oleh particle lain yang bernama Tachyon yang kecepatannya ribuan kali lebih tinggi dari kecepatan Sinar.
A.2.4. Tachyon adalah Particle yang Memiliki Kecepatan Tertinggi.
Perhatikanlah berikut ini keterangan Norris Mc Whirter di dalam bukunya yang berjudul “The Biggest; Guinness Book Of World Records” terbitan 1976 :
Yg terjemahannya sbb:
Sebuah riset yang cermat terhadap suatu particle yang teramat halus yang bernama Tachyon (dengan symbol T+ dan T-) telah dilakukan oleh Dr. T. Alvager dan Dr. M. Kriesler pada tahun 1968 dan telah pula diumumkan hasilnya pada tahun 1974 yang menerangkan bahwa particle ini memiliki kecepatan yang jauh lebih tinggi daripada kecepatan Sinar, khsusnya di ruang hampa. Penemuan particle ini menimbulkan kesulitan konsepsionil, karena ia telah menghilang sebelum dapatnya dipersaksikan. Kedua orang tersebut adalah dari Princeton University.
Berdasarkan keterangan di atas, dapatlah kita mendasarkan pendapat kita bahwa, jika Muhammad saw mengendarai Space Craft yang bernama Buraq dengan kecepatan Sinar, maka itu hanya untuk menempuh suatu jarak tertentu untuk kemudian digantikannya dengan kendaraan antariksa yang lain yang memiliki kecepatan Tachyon, sehingga masa delapan setengah jam dari Planet Bumi ke Planet Ketujuh di sebelah luar planet Bumi itu cukup lapang bagi perjalanan Isra’ Mi’raj Rasulullah, Nabi Besar Muhammad saw.
Pertanyaan yang timbul kemudian adalah bagaimanakah tehnik penerbangan di dalam perjalanan yang demikian jauh dengan kendaraan yang demikian cepat di dalam waktu yang demikian singkat dapat berhasil secara gemilang tanpa membuat Rasulullah itu cidera barang sedikit jua-pun.
A.2.5. The Law Of Equation (Hukum Persamaan Albert Einsten).
Memperhatikan “technical know how”nya Isra’ Mi’raj Rasulullah itu di dalam pandangan dunia pengetahuan adalah masalah “Conversion” (Peralihan wujud) semata-mata. Diketahui bahwa menurut ilmu Physica; “massa” itu pada hakekatnya adalah juga “energy” dan sebaliknya-pun demikian “energy” itu pada hakekatnya adalah pula “massa”. Peralihan wujud keduanya itulah yang disebut dengan Convertion, sedang cara peralihan wujud itu tertuang ke dalam rumus persamaan yang tercantum berikut ini:
E = MC pangkat 2
E ———–> Menunjuk pada Energy
= ———–> Menunjuk pada Persamaan.
M ———-> Menunjuk pada Massa.
C ———–> Menunjuk pada kecepatan sinar (186.000 mil per-detik).
2 ———–> Menunjuk pada perkalian kecepatan sinar itu pada bilangan dasarnya (186.000 x 186.000) = 34.596.000.000,-
Untuk lebih memahami pengertian hukum persamaan Einstein di atas perhatikanlah berikut ini keterangan Dr. Hanz Haber di dalam bukunya “Our Friend, The Atom”:
Yg terjemahannya sbb:
Ini adalah sebuah pernyataan keilmuan yang dingin, kendatipun kedalam pengertiannya mudah untuk dimengerti. Tabir rahasia dari rumus Einstein ini terletak pada kwantitas C.2. Seperti diketahui kecepatan sinar itu adalah 186.000 mil per-detik. Bila jumlah sebesar ini diperkalikan pada bilangan dasarnya (186.000 x 186.000) ia akan menjadi sederetan angka yakni 34.596.000.000. Menurut hukum persamaan Einstein sebuah (satu) massa haruslah diperbanyak sebesar jumlah tersebut untuk mendapatkan energy yang senilai dengan massa tersebut. Tidak teramat perlu kita perkatakan di dalam kesatuan apa energy itu kita nyatakan, karena kesatuan apapun juga yang kita pakai, hasilnya akan tetap besar.
Berdasarkan hukum persamaan Einstein di atas, dapatlah kita mengetahui secara estimative bahwa Isra’ Mi’raj Rasulullah Nabi Besar Muhammad saw itu menurut versi science adalah suatu peristiwa “Conversion”. Tidaklah dapat disangsikan sedikitpun bahwa sarana yang memungkinkan berlangsungnya conversi pada diri pribadi Rasulullah saw tidaklah mungkin lain daripada “SHALAT”.
Berbicara tentang shalat ini, berarti kita telah meninggalkan spect pertama dari Isra’ Mi’raj yakni masalah ke-ilmuan dan kini kita memasuki aspect yang kedua dari Isra’ Mi’raj itu yakni “Amal-Ibadah”.
B. ASPECT AMAL DAN IBADAH DARI PERISTIWA ISRA’ MI’RAJ RASULULLAH SAW.
Berkaitan langsung dengan peristiwa Isra’ Mi’raj; Rasulullah pernah bersabda: “Ash Shalaatu Mi’raajul Mu’miniin” (Shalat itu adalah sarana Mi’raj-nya orang-orang yang beriman).
Pengertian hadist tersebut di atas adalah “dwi-dimensional” sifatnya yakni selain pengertian “religion” juga padanya terdapat pula pengertian “science”.
Secara lugah (bahasa) Mi’raj adalah berarti “Accelarator” (tangga yang bergerak naik). Pengertian religion dari hadist tersebut di atas, bahwa seorang muslim dapat meningkatkan ke-imanannya dengan jalan bershalat.
Pengertian science dari hadist tersebut adalah bahwa dengan shalat seseorang dapat melintasi jarak yang dengan cara biasa di luar shalat tak dapat dicapai/dilakukannya.
B.1. Shalat Menurut Pandangan Psychology.
Shalat sebagai suatu bentuk ibadah yang utuh adalah terdiri dari:
1.1. Nia t ——> Ikrar dengan hati melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu.
1.2. Aqwaal—–> Ucapan-ucapan yang tersusun rapi dan bermakna.
1.3. Af’aal —–> Gerak-gerik dan perbuatan.
Niat adalah kerja Ruh; Aqwaal kerja Nafas dan Afaal adalah kerja Jasad atau badan/tubuh. Dengan demikian maka manusia sebagai individuality adalah terdiri dari Jasad, Nafas dan Ruh. Bila seeorang menegakkan ibadah shalat dan memahami serta menghayati esensi dan urgensi dari shalat yang dilakukannya itu, maka keseluruhan individualitasnya selaku manusia (Jasad, Nafas dan Ruh) secara singkron dan in-balance melakukan fungsinya masing-masing.
Nafas mengucapkan bacaan-bacaan yang disyaratkan oleh Islam, sedangkan ruh lewat getaran qalbu meresapi dan menyerap pengertian yang terkandung di dalam aq’waal (bacaan = ucapan), sementara jasad melakukan gerakan yang mendorong lebih meresap dan mantapnya pengertian Ruh terhadap bacaan itu. Kesemuanya itu adalah merupakan realisasi dan follow up dari ikrar ruh lewat getaran qalbu untuk melakukan sesuatu guna mencapai sesuatu.
Bacaan-bacaan di dalam shalat itu terutama terdiri dari:
a. Kesaksian akan kemahakuasaan dan kemahabesaran Allah swt.
b. Pujian terhadap Allah Yang Maha Besar, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
c. Ikrar untuk mematuhi aturan Allah yang kebesaran dan kekuasaan-Nya telah disaksikan dan diakui.
d. Pengakuan akan kehinaan dari diri dan kelemahan terhadap Allah Yang Maha Tahu.
e. Penyerahan diri yang diiringi dengan:
e.1. Permohonan ampun atas kesalahan-kesalahan yang diperbuat.
e.2. Permohonan kasih sayang di dunia dan akhirat.
e.3. Permohonan untuk selalu berada di dalam syariat Muhammad saw dan termasuk di dalam jaringan komunikasi Muhammad saw.
e.4. Permohonan bagi kemaslahatan sesama orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, khususnya Muhammad saw.
e.5. dan lain-lain permohonan.
f. Persaksian- kesaksian terhadap ke-Nabian dan kerasulan Muhammad saw dengan missionnya yang gecodeficeerde di dalam kitab suci Al Qur’an.
g. Permohonan agar Allah Yang Maha Kuasa senantiasa berkomunikasi dengan Muhammad saw dan ummat Muhammad saw.
h. Permohonan untuk mendapatkan Mardhaa’tillah (Keredhaan Allah) berupa:
h.1. Hidup berketenangan jiwa dan berketenteraman bathin di dunia.
h.2. Hidup berbahagia di dalam ni’mat Allah di Akhirat.
Term Psychology untuk menyederhanakan tujuan-tujuan bacaan shalat di atas adalah sebagai berikut:
1. CONVICTION ——-> Keyakinan dan Kepercayaan.
2. CONFESSION——–> Pengakuan jujur, polos dan terus terang dan terbuka.
3. EXPECTATION——->Harapan-harapan positif bagi inprovisasi (Kebaikan yang bergerak maju dan selalu meningkat.
Ketiga sikap kejiwaan tersebut di atas itulah yang di dalam Ilmu Jiwa dipandang sebagai syarat mutlak utnuk:
a. Melikwidir pengaruh dan gejolak jiwa yang negative destruktif.
b. Menetralisir untuk kemudian menstabilkan jiwa yang selalu cemas, rawan dan gelisah.
c. Menstimulir dan mensublinir jiwa yang positif menjadi lebih positif dan lebih kreatif dan konstruktif lagi.
Orang yang asing dari salah satu atau ketiga jiwa sikap kejiwaan di atas, jiwanya senantiasa resah dan gelisah.
Mendahului pembahasan mengenai shalat sebagai sarana untuk Mi’raj bagi Mukminin dan shalat sebagai sarana converse di dalam rangka Isra’ Mi’raj-nya Rasulullah saw, marilah terlebih dahulu kita mempelajari kecenderungan kejiwaan manusia menurut pandangan Ad-Dinul Islamiyah sebagaimana yg tercantum di dalam kitab suci Al Qur’an.
B.2. Kecenderungan-Kecenderungan Jiwa Manusia Menurut Kitab Suci AL Qur’an.
Di dalam kitab suci Al Qur’an terdapat banyak sekali ayat-ayat yang mengungkapkan secara gamblang kecenderungan-kecenderungan jiwa manusia yang selanjutnya membentuk perangai dan tabiat serta kelakuan manusia itu.
Beberapa buah dari antara ayat-ayat yang jumlahnya banyak itu adalah yang kami kutipkan berikut ini:
2.1. Surah Al Maa’rij ayat 19 – 23;
Sesungguhnya manusia itu diciptakan dengan jiwa yang senantiasa resah dan gelisah. Apabila ia dilanda kesulitan/kesedihan, ia mengeluh. Dan bila mengalami kesenangan/kegembiraan ia lupa daratan. Kecuali mereka yang menegakkan shalat. Mereka yang di dalam shalatnya berkekalan.
2.2. Maka sungguh beruntunglah mereka yang mensucikan (jiwanya) dan sungguh celakalah mereka yang mengotori (menodai jiwa)nya.
Interperetasi Ayat-ayat tersebut di atas.
Ayat-ayat tercantum pada point (2.1.) di atas jelas menunjukkan bahwa adalah alami dan kodrati bahwa jiwa manusia itu selalu merasa resah dan gelisah dimana keresahan dan kegelisahan itu termanifestasikan pada sikap yang senantiasa mengeluh, menyalahkan orang lain mencari kambing hitam apabila ia mengalami kesulitan/kesusahan. Dan sebaliknya selalu berlaku congkak dan pongah dan berlagak, apabila ia memperoleh kegembiraan dan ketenangan dan keberhasilan.
Untuk mencegah kebiasaan-kebiasaan kejiwaan yang negative itu, Allah swt mengajarkan kepada kita dan sekaligus memberikan sarananya yaitu SHALAT. Namun shalat sebagai sarana haruslah dilakukan secara berkekalan di dalam pengertian bahwa:
a. Shalat tidak hanya dikerjakan di ketika seseorang mengalami kesulitan;
b. Shalat tidak hanya dikerjakan di ketika seseorang mengalami keberhasilan dan keberuntungan yang menyenangkan, melainkan
c. Seseorang Muslim yang mendambakan ketenangan jiwa dan ketenteraman bathin di dalam kehidupannya di dunia kini, haruslah senantiasa melakukan shalat itu baik dikala ia senang maupun dikala ia susah.
Ayat-ayat tersebut secara gamblang sekali mengajarkan kepada kita bahwa kekayaan, kepangkatan, keterampilan sosial dan keunggulan ilmu dan pengaruh bukanlah merupakan suatu indikator untuk menilai sesorang itu sebagai hidup berketenangan jiwa. Malahan sebaliknya –psychologich- ayat-ayat tersebut secara tersirat memberitahukan kepada orang yang memahaminya bahwa betapapun kekayaan, pengaruh dan keterampilan yang dimiliki oleh seseorang bila orang yang bersangkutan itu tidak menegakkan shalat secara berkekalan, pastilah jiwanya tidak tenang dan bathinnya tidak tenteram sepasti bahwa jiwa dan bathinnya itu resah dan gelisah.
Di luar dunia Islam sering kita mendengar orang berkata bahwa “Kebahagiaan itu adalah sesuatu yang relative, bergantung kepada yang menilainya dan dari segi mana seseorang memandang dan menilainya” .
Berbeda tajam dengan pandangan di atas; dunia Islam sebaliknya memandang kebahagiaan itu bukan saja sebagai sesuatu yang “tidak relative” malahan dengan tandas mengatakannya positif dan definitive, sebagaimana hal itu diungkapkan di dalam salah sebuah hadist Rasulullah saw yang berbunyi: “Al-Ghinaa, ghinan-Nafsi” (Kebahagiaan yang sejati itu adalah ketenangan jiwa/ketenteraman bathin).
Adapun pengertian ayat-ayat yang tercantum pada point (2.2.) adalah justeru menunjukkan adanya hanya 2 (dua) kelompok manusia yakni kelompok yang mampu mensucikan jiwanya dan kelompok yang senantiasa menodai jiwanya.
Kelompok yang mampu mensucikan jiwa adalah mereka yang beriman dan membuktikan keimanannya dengan jalan menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya dimana perintah itu bertumbuh pada shalat.
Adapun kelompok yang senantiasa menodai jiwanya adalah mereka:
a. Kendatipun ia mengaku selaku seorang Muslim, tetapi pengakuannya itu tidaklah mendorongnya untuk melaksanakan perintah-perintah Allah, malah sebaliknya mereka melaksanakan larangan-larangann Allah yang menurut pengakuannya diimaninya itu.
b. Mereka yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu dari makhluknya, dan
c. Mereka yang mengingkari wujud Allah swt atau mengingkari ke-Tuhanan Allah swt.
Di dalam rangka pengelompokan ummat manusia, dengan menjadikan shalat sebagai indicator, perhatikanlah pula penegasan Rasulullah di dalam sabdanya yang berbunyi demikian: “Ash-Shalaatu farqun bainal-mukminiina wal Kaafiriina”.
Artinya:
Shalat itu adalah tabir yang memisahkan (membedakan) antara seorang yang beriman (mukmin) dengan seorang yang kufur (kafir).
Menyimpulkan interpretasi ayat-ayat tersebut, maka oleh karena setiap orang mendambakan hidup berbahagia berketenangan jiwa, dan berketenteraman bathin, maka sudah sepantasnyalah semua muslim itu terpanggil untuk menegakkan komunikasi dengan Allah swt lewat shalat sebagai sarana utamanya, karena komunikasi vertikal inilah yang akan mekar dan menghadiakan, menghasilkan komunikasi horizontal di dalam pergaulan masyarkat yang aman damai dan tenteram.
Bahwa mungkin ada di kalangan Muslimin yang kendatipun telah menegakkan shalat itu secara berkekalan tetapi jiwanya ternyata masih juga resah dan gelisah, maka sebaiknya muslim yang tidak beruntung itu meninjau kembali shalatnya dan pelaksanaan praktiknya. Karena tiadalah mungkin bahwa Allah itu dusta di dalam firman-Nya; sedangkan menurut firmannya yang mendasari pembahasan ini jelas memberikan ketenagan jiwa dan ketenteraman bathin pada mereka yang menegakkan shalat. Dus persoalan yang kita hadapi “Shalat yang bagaimanakah yang dapat memberikan ketenangan jiwa dan ketenteraman bathin bagi yang melaksanakannya”?
2.3. Surah Al-Angkabuut ayat 45.
Bacalah (pahamilah secara mantap) olehmu apa-apa yang diwahyukan kepadamu dari AL Kitab (AL Qur’an) dan tegakkanlah Shalat karena sesungguhnya shalat itu mencegah (orang) dari berbuat jahat dan tercelah. Bahwa selalu ingatlah kepada Allah Yang Maha Besar, dan Allah itu Maha mengetahui apa-apa yang kamu perbuat.
Interpretasi Ayat di atas.
1. Awal ayat menunjuk dengan jelas bahwa yang memperoleh perintah untuk membaca wahyu itu adalah Muhammad saw karena ialah yang menerima wahyu. Tetapi ujung ayat menunjuk bahwa yang diseru untuk mebaca ayat yang diwahyukan kepada Muhammad saw dan mendirikan shalat adalah orang banyak (ummat Muhammad). Dengan demikian Muhammad saw diperintahkan untuk memerintahkan kepada ummatnya untuk membaca ayat-ayat (wahyu) dan mendirikan shalat.
2. Sifat kalimat dari ayat di atas adalah “fi’il Amar” (kalimat perintah). Sedangkan nilai hukum sebuah perintah adalah berkedudukan wajib. Sehingga ayat tersebut berarti wajib hukumnya bagi ummat Muhammad membaca ayat-ayat (wahyu) itu dan wajib pula baginya untuk mendirikan shalat. Dimaksud wajib di dalam versi hukum ialah “beroleh pahala mereka yang melaksanakan perintah itu dan berdosa mereka yang tidak melaksanakannya”.
3. “Membaca” di dalam bahasa Indonesia adalah “Qara’ah” di dalam bahasa Arab dalam bentuk “Fi’il Madhi” (past tense). Bila past tense “Qara’ah” dirobah bentuknya menjadi kalimat perintah (fi’il amr) maka berobahlah bunyinya menjadi “Iqra’” di dalam bahasa Arab atau “bacalah” di dalam bahasa Indonesia.
4. Pada ayat di atas, bukan perkataan “Iqra’” bunyi perintahnya melainkan “Ut’lu” yang berarti baca, renungkan, sadari dan hayatilah secara manta papa-apa yang kamu baca. Dengan demikian tafsiran ayat di atas adalah lebih kurang sebagai berikut: “Baca dan sadarilah secara mantap pengertian ayat-ayat Al Qur’an”.
5. Di belakang perintah untuk menyadari secara mantap pengertian ayat-ayat Al Qur’an terdapat lanjutan perintah yang berbunyi “dan dirikanlah shalat”. Oleh karena di dalam shalat seseorang diwajibkan untuk membaca ayat-ayat Al Qur’an, minimal surah Al Fatiha’, maka rangkaian pengertian antara menyadari pengertian ayat dan mendirikan shalat adalah bahwa; orang-orang yang mendirikan shalat itu, sebelum ia bershalat haruslah terlebih dahulu menguasai dan menjiwai pengertian dari bacaan ayat yang akan dibacanya di dalam shalat. Pada ayat yang satu tersebut terdapat dua buah perintah yaitu:
a. Memahami secara sadar dan menjiwai secara mantap pengertian ayat.
b. Mendirikan shalat.
Dus perintah belajar memahami secara mantap ayat-ayat Al Qur’an mendahului perintah menegakkan shalat; sebagaimana hal itu ditegaskan di dalam berbagai hadist antara lain :
“Ut-lubul Ilma minal Mahdi ilal-Lahdi”
Yg artinya:
Tuntutlah ilmu sejak kamu turun dari ayunan (usia 2 tahun) hingga masuk ke liang kubur.
Adapun perintah dan berlakunya hukum wajib shalat bagi seorang muslim adalah di ketika muslim akil balig dan mumayyiz yang berarti telah mampu mendaya-gunakan akal pikirannya, telah mampu membedakan yang buruk dari yang baik dan telah pula dicapai seruan untuk melaksanakan ajaran Islam. Pada umumnya disepakati bahwa usia muslim yang wajib shalat adalah kurang lebih 15 tahun.
Jadi tenggang waktu antara perintah pertama (belajar) dan perintah yang kedua (Shalat) adalah 15 tahun – 2 tahun = 13 tahun.
Jikalau seorang Muslim sudah aqil balig dan mumayyiz (telah mencapai usia 15 tahun) tetapi belum juga menghayati secara mantap pengertian ayat-ayat, minimum surah Al Fatihah yang wajib membacanya di dalam Shalat, maka Muslim yang bersangkutan telah bertindak melalaikan dan meremehkan perintah belajar selama 13 tahun.
6. Bahagian ayat selanjutnya menerangkan bahwa “Shalat itu mencegah orang berbuat kejahatan dan kemungkaran”. Shalat yang memiliki daya protektiva dan preventive itu, tentu hanya shalat yang ayat-ayat Al Qur’annya dipahami dan disadari secara mantap oleh orang yang menegakkan shalat itu. Dengan istilah terbalik adalah bahwa kendatipun seseorang itu menegakkan shalat, tetapi yang bersangkutan tidak memahami arti bacaannya, maka shalat yang ditegakkannya itu tidaklah akan mampu untuk mencegah yang bersangkutan untuk berbuat kejahatan dan kemungkaran yang bertumbuh pada sifat jiwanya yang senantiasa resah dan gelisah, mengeluh jika susah dan lupa daratan jika senang.
Dengan interpretasi ayat 45 surah Al Ankaabut di atas, jelaslah kiranya bahwa shalat yang mampu berfungsi selaku sarana untuk mendatangkan ketenangan jiwa dan ketenteraman bathin hanyalah shalat yang dipahami secara mantap maksud-maksud bacaannya yang tersurat maupun yang tersirat.
Mengapa orang yang memahami pengertian bacaan-bacaan yang dibacanya di dalam shalat itu dapat beroleh ketenangan jiwa dan ketenteraman bathin; itu karena orang yang memahami Al Qur’an pasti memahami pula pengertian salah sebuah ayatnya yang berbunyi demikian “Wa’jaalnaa bisy-Syarri wal-Khairi fitnatan” (Dan Kami menjadikan kesulitan/kesusahan dan kesenangan/kegembiraan itu kedua-duanya selaku ujian).
Orang yang dilanda oleh kesulitan (ketakutan, kesedihan, kerugian, penderitaan lahir dan bathin, musibah dan lain sebagainya) diuji oleh Allah swt sejauh mana kesabarannya mengalami hal-hal yang berat itu. Mampukah ia di dalam melaksanakan perintah-perintah Allah (terutama shalat) dan menjauhi larangan-larangan-Nya (terutama berputus asa) kalau ia tetap melaksanakan perintah-perintah dan menjauhkan diri dari larangan Allah, pastilah Allah akan memnerikan way out (jalan keluar) kepadanya untuk melepaskan diri dari kemelut dan kesulitan itu bahkan menggantikannya dengan kesenangan. Sebaliknya jikalau ia tidak mampu bersikap sabar di dalam arti tetap melaksanakan perintah dan larangan Allah, pasti kesulitan itu akan kian bertambah bahkan akan mendorongnya untuk melakukan hal-hal yang dapat mengakibatkan kehancurannya sendiri (membunuh, merampok, berzina, berdusta, menipu, korupsi, dan lain sebagainya).
Sebaliknya, orang yang beroleh kesenanganpun (beroleh kekayaan, pangkat, promosi, keuntungan dan lain sebagainya), diuji pula oleh Allah swt sejauh mana kesanggunpannya untuk mensyukuri nikmat Allah itu. Apakah dengan nikmat itu ia tetap bersikap konsekwen dan konsisten di dalam keimanannya terhadap Allah di dalam arti tetap melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangannya; atau apakah dengan kesenangan itu akan menjadikannya kufur kepada Allah dengan jalan bersikap takbur (membesarkan diri), tafakhur (menyombongkan harta, pangkat dan jabatan),takatsur (tambah bergairah untuk memperoleh lebih banyak lagi = serakah) tanpa mengindahkan kaedah-kaedah Islam dan norma-norma masyarakat.
Jika ia syukur, nikmat yang diperolehnya itu akan lebih dipergandakan lagi oleh Allah swt sebagai realisasi dari janji Allah yang tercantum di dalam firman-Nya yang berbunyi: “Lain syakartum La’azidannakum” (Jikalau kamu mensyukuri nikmat yang aku anugerahkan kepadamu itu, niscaya akan kuperlipat gandakan nikmatk-Ku itu kepadamu). Sebaliknya bila kufur, ketakaburan, kesombongan dan keserakahan itu sendirilah yang akan menghantarkannya kepada kehancurannya yang total dan fatal, sebagaimana hal itu telah diperingatkan oleh Allah swt di dalam lanjutan firman-Nya di atas yang berbunyi demikian: “Wa’lain kafartum Inna Adzaabii Lasyadid” (Dan jika kamu kufur atas naikmat yang Kuanugerahkan kepadamu, keahuilah bahwa sesungguhnya azab siksaku itu amat dahsyat).
Jadi jelaslah bahwa shalat yang mampu menyebabkan seseorang berbahagia di dalam arti hidup berkeseimbangan dan berketenangan jiwa hanyalah shalat yang selain dilakukan secara berkekalan, hakekat pengertiannya-pun diresapi dan dapat diserap secara sadar dan mendasar.
B.3. Aspect Metaphysis dari Shalat yang Benar di Dalam Pelaksanaannya.
Pada bahagian terdahulu telah dijelaskan bahwa shalat itulah yang berfungsi sebagai sarana untuk berkonversi, baik di dalam pengertian religion maupun pengertian science. Sekurang-kurangnya kita sudah mengetahui, bahwa sebagai psychological effect dari shalat yang benar dan dilakukan secara benar pula adalah tercapainya kehidupan yang selalu imbang laras tenang dan tenteram himpunan kesemuanya itu disebut kebahagiaan sebagai bukti keredhoan Allah swt.
Kita semua telah diajarkan bahwa di dalam bershalat, kita harus menampik semua pikiran-pikiran yang dapat mengganggu konsenterasi kita terhadap penyerapan dan penghayatan terhadap bacaan-bacaan yang kita baca di dalam shalat. Sebaliknya seseorang yang bershalat dipujikan untuk menghadirkan qalbunya pada setiap huruf, setiap kata dan setiap kalimat yang diucapkannya di dalam shalat.
Keadaan yang menghampiri pengertian shalat ini adalah “Meditation” khususnya “Transendental Meditation” yang lebih umum dikenal dengan singkatannya yaitu: T.S.M. Di dalam praktek T.S.M ini seseorang diharuskan untuk mempassivekan ego dan pikirannya atau di dalam term ilmu Jiwa “meniadakan fungsi Das Es (jiwa tak sadar) dan Das Ich (jiwa sadar), sehingga lapisan jiwa satu-satunya yang berfungsi di dalam T.S.M (dan pada hakekatnya di dalam shalat demikian) adalah Das Uber Ich (bawah sadar)”.
Apabila yang digaris bawahi di atas itu dapat berlangsung secara baik dan semestinya, maka akan tercapailah sesuatu yang di dalam term ilmu Jiwa disebut dengan “befrijding, verlosing, hypnosn, hypnossa” atau “trans” tersebut dikenal dengan “khusyu’”. Di dalam suasana trans ini baik di dalam T.S.M dan utama lagi di dalam shalat dapat terjadi berbagai-bagai keajaiban antara lain:
3.1. Clair Voyance —-> Kemampuan melihat sebuah object (sasaran) yang jaraknya ribuan bahkan ratusan ribu mil dari tempat dimana seseorang menegakkan shalat atau melakukan T.S.M.
3.2. Helderzienhorn–>Kemampuan mendengarkan suara (percakapan) dari orang atau benda yang berada pada jarak ribuan atau ratusan ribu mil dari tempat dimana seseorang bershalat atau melakukan T.S.M.
3.3. Levitation——–>Kemampuan untuk berpindah dari tempat menegakkan shalat ke suatu tempat yang secara biasa tiada terjangkau tanpa mempergunakan kendaraan tertentu, seperti Kuda, Mobil, Kapal Laut, Kereta Api, Pesawat Udara dan lain-lain sebagainya.
Daya jangkau “Levitation” ini bisa mencapai puluhan ribu mil dalam waktu sekejap mata. Yang paling sering memperlihatkan kemampuan Levitasi ini adalah para “Yogi” (Ahli dalam ilmu Yoga), tetapi tak pula jarang dan tak pula kurang jumlahnya Alim Ulama Ahli Hikmat yang melampaui “Levitation” ini.
Demikianlah sering kita mendengarkan betapa seorang Alim, Ahli Hikmat terlihat di Medan dan di Ujung Pandang pada waktu yang berbeda detik saja. Sesungguhnya amat dalam dan luaslah kandungan yang tersirat di balik kesederhanaan ucapan-ucapan dan gerakan-gerakan yang dilakukan di dalam shalat, asal saja orang benar-benar untuk mendalami dan menghayatinya.
Mencapai kemampuan-kemampuan yang bersipat Methaphysis ini, seseorang dipujikan untuk memperbanyak zikir kepada Allah swt, dengan senantiasa mengadakan Riyadhah (Latihan-latihan) untuk kemudian bila sudah terlatih baik, dipujikan lagi untuk menambah amal ibadahnya terutama dengan Shalat malam (Shalat Tahajjud).
Jikalau seorang Yogi dapat melakukan Levitasi, salahkah bila seorang Muslim mempunyai Kasyaf? Dan jikalau Muslim sudah mampu untuk mencapai ketiga macam aspect Methaphysis dari Sholat yang disebutkan di atas dengan sendirinya sangat mudahlah memahami (tanpa mengungkapkannya kepada orang lain), bagaimana Isra’ Mi’raj Rasulullah Nabi Besar Muhammad saw dapat terjadi.
Sampai kepada pembahasan para Psychology dan Methaphysica ini berakhirlah pula pembahasan kita terhadap aspect kedua dari peristiwa Isra’ Mi’rajnya Rasulullah saw yakni Aspect Amal dan Ibadah.
C.ASPEK IMAN DARI PERISTIWA ISRA’ MI’RAJ NABI BESAR MUHAMMAD SAW.
Di dalam Tarikh (Ilmu tentang perjalanan hidup dan perjuangan Rasulullah, Nabi Muhammad saw) hampir seluruh Ulama sependapat bahwa, peristiwa Isra’ Mi’raj itu terjadi pada tahun ke XII atau ke XIII dari pengangkatan beliau menjadi Nabi dan Rasul Allah.
Mendahului Isra’ Mi’raj tersebut kehidupan Rasulullah ditandai dan didapati dengan amal ibadah serta jihad di dalam melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya. Ketekunan amal ibadah yang tiada tara dan tolak bandingnya sepanjang masa itu adalah semata-mata merupakan realisasi dan manifestasi dari kesaksian (syahadat) beliau kepada Allah swt sebagai Al Khaliq, Sang Pencipta segalanya, yang kemudian karena kemantapan kesaksiannya itu menyebabkan beliau beroleh kehormatan untuk diangkat menjadi Nabi dan Rasul Allah.
Kepatuhan beliau di dalam melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya dan menjauhkan diri dari apa yang dilarang-Nya kepadanya itulah yang antara lain yang menyebabkan ia diberi kehormatan oleh Allah untuk beroleh anugerah yang hanya beberapa orang Nabi dan Rasul saja yang dianugerahi oleh Allah swt untuk mengalaminya yakni “Perjalanan Antariksa” yang di dalam bahasa Arab disebut “Isra’ Mi’raj”.
Para Nabi/Rasul yang mengalami perjalanan antariksa itu adalah sebagai berikut:
1. Nabi Adam as dari planet terluar dari tatasurya kita ini atau planet ketujuh disebelah luar planet Bumi ke planet Bumi dan tak kembali lagi.
2. Nabi Ibrahim as dari planet Bumi ke planet terluar dar tatasurya kita atua planet ketujuh sebelah luar planet Bumi (Sidratul Muntaha’) pergi pulang.
3. Nabi Isa’ as dari planet Bumi ke planet kedua sebelah luar planet Bumi atau planet keenam dari tatasurya kita yaitu Jupiter dan belum kembali lagi sampai sekarang.
4. Rasulullah, Nabi Besar kita Muhammad saw dari planet Bumi ke planet terluar dari tatasurya kita atau planet ketujuh sebelah luar dari planet Bumi (Sidratul Muntaha’) mengikuti jejak dari kakeknya yaitu Ibrahim as.
Alangkah besarnya rahmat dan nikmat Allah yang Maha Pengasih lagi Penyayang terhadap hamba-hambanya yang mematuhi dan menyembahnya secara hanief dan muslim, suci bersih, ikhlas dan pasrah. Jaminan Allah kepada hamba-hamba-Nya ditemukan pada banyak ayat-ayat di dalam kitab suci Al Qur’an antara lain yang tercantum dalam surah Al Baqarah ayat 112 sebagai berikut:
Yg artinya: Sungguh benarlah bahwa terhadap mereka yang ber-Islam kepada Allah dan berbuat kebajikan, tiadalah alas an untuk merasa takut atau gentar dan tak pula merasa cemas dan duka.
Mengakhiri pembahasan terhadap ketiga aspek utama dari peristiwa Isra’ Mi’raj Rasulullah Nabi Besar Muhammad saw yakni Aspek Ilmu, Aspek Amal dan Ibadah serta Aspek ke-Imanan; perhatikanlah berikut ini pesan-pesan beliau kepada kita mengenai ketiga aspek tersebut sebagai berikut:
1. Aspek Ilmu:
Man Araadad-Dun’yaa Fa-alaihi bil-Ilmi, wa-man Araadal Akhirata, Fa-alaihi bil-Ilmi; wa-man Araada humaa, Fa-alaihi bil-Ilmi.
Terjemah bebas:
Barang siapa yang menghendaki keterampilan dan kemenangan di dunia, hendaklah ia menguasai ilmu pengetahuan, dan barangsiapa yang menginginkan keterampilan dan kemenangan di Akhirat kelak, hendaklah ia menguasai ilmu pengetahuan; dan mereka yangmenginginkan kemenangan dunia dan mendambakan kemenangan akhirat hendaklah pula menguasai ilmu pengetahuan.
2. Aspek Amal dan Ibadah:
Ash-Shalaatu Imaadu-ddiin; fa-man Aqaamahaa faqad Aqaamad-diin; wa-man tarakahaa faqad Hadamad-ddiin.
Terjemah bebas:
Shalat itu adalah bagaikan tiang pancang (pondasi) Ad-Dinul Islamiyah, maka barangsiapa yang menegakkan shalat, ia seolah-olah telah merampungkan bangunan Islam, dan mereka yang meninggalkan shalat, ia-pun telah pula seolah-olah telah mengobrak-abrik/meruntuhkan bangunan Islam.
3. Aspek Keimanan.
Qul Aa’mantu Billah Tsummas-taqim.
Terjemah bebas:
Katakan sajalah bahwa aku telah beriman kepada Allah, kemudian konsekwenlah (buktikanlah ucapanmu itu dengan melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Semoga uraian yang sederhana ini bermanfaat adanya.
Disadur dr ceramah: Drs. Dachlan Salim di hadapan Keluarga besar IKAMI Sulsel Cabang Ciputat.